Senin, 21 Mei 2012

Kebangkitan (Ekonomi) Nasional

AHMADI, seorang sopir mobil sewaan antara Balikpapan dan Samarinda mengaku tidak paham makna kemerdekaan, Pancasila, dan kebangkitan nasional. Ia tahu persis daerahnya kaya akan hutan dan kayu-kayunya, tambang batu bara, perkebunan, dan penghasil minyak dan gas.

Akan tetapi ia tidak habis pikir, mengapa sebagai sopir begitu sulit mendapatkan BBM premium. Sebelum keluar dari kota Balikpapan menuju Samarida, sudah tiga SPBU yang hendak disinggahinya untuk mengisi tangki mobilnya dengan premium. Maklum, perjalanan cukup jauh. Namun ia selalu menjumpai kalimat teramat santun. “Maaf, bensin habis”. “Herannya, bensin banyak dijual di pinggir jalan dalam kemasan botol dan jeriken. Harganya lebih mahal ketimbang yang dijual di pom bensin,” katanya.

Itulah yang “digugatnya” dalam hati dan pikiran. Suaranya hanya sebatas gerutu. Paling-paling penumpangnya yang mendengarkan. Ia tak punya kekuatan dan kemauan untuk turun berdemo di jalan-jalan. Ia memilih bersabar, lebih baik tekun mencari nafkah buat anak-istri.

Kemerdekaan, Pancasila, dan kebangkitan nasional, tak lebih dari sebatas mitos baginya. Perwujudannya tidak, atau belum terasa baginya. Bahwa ada kemajuan ekonomi dan pembangunan, ia tidak menutup mata. Kalau tidak ada kemajuan ekonomi dan pembangunan, tidak mungkin ia bisa menjadi sopir mobil berharga seratusan juta rupiah. Walaupun ia hanya sebatas pekerja upahan.

Kesejahteraan memang terjadi, tetapi tidak bagi Ahmadi dan mereka yang senasib dengannya. Ketidakadilanlah yang mereka telan setiap saat. Padahal, ketidakadilan, dalam bidang apapun, ya hukum, politik, ekonomi, adalah biang dari segala konflik. Hampir semua konflik yang pecah di Tanah Air, bermula dari bersemainya dengan subur benih-benih ketidakadilan.

Ada benarnya pikiran Ahmadi. Bagaimana bisa pemerintah mengklaim telah mewujudkan sila kelima Pancasila, yakni “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” kalau orang-orang suku Dayak Kalimantan hanya sebatas menyaksikan tanah Kalimantan dikapling beribu-ribu hektar dengan gampangnya oleh orang-orang luar daerah. Sementara mereka sendiri tak dapat memiliki sejengkal pun lahan di tanah leluhurnya sendiri!

Mereka yang datang mengkapling-kapling wilayah Kalimantan, bukan hanya orang-orang berkulit bule seperti penjajah dulu. Orang-orang berkulit sejenis dengan dirinya pun banyak. Itulah gugatannya terhadap Pancasila, khususnya sila kelima.

Kini, dalam suasana Hari Kebangkitan Nasional yang kita peringati setiap tanggal 20 Mei, boleh jadi yang terlintas dalam ingatan kita adalah heroisme dan hiruk pikuk perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa ini. Ya kedaulatan di segala bidang. Tetapi heroisme perjuangan untuk berdaulat sebagai bangsa itu boleh jadi tinggal romantisme masa lalu.

Heroisme kebangkitan nasional sudah tergilas kapitalisme dan ditelan globalisme dengan anak kandung liberalisme. Semua sektor kehidupan diliberalisasi, sehingga modal dan kapital benar-benar berkibar di angkasa, laut dan daratan beserta segala isinya. Ketidakadilan dan kesenjangan sosial semakin melebar di mana-mana. Yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin tak beranjak berkurang secara signifikan. Mesin kapitalisme terus menggilas anak-anak bangsa yang tak berdaya memproduksi kemelaratan.

Penjajahan secara fisik memang telah dinyatakan lenyap dari bumi Indonesia, tetapi kolonialisme di bidang ekonomi justru semakin kuat mencengkramkan akar-akarnya. Atas nama globalisasi dan liberalisasi, semua sektor ekonomi sudah dikuasai kaum kapitalis. Kapitalis pribumi pun bahkan tak berdaya menghadapi kapitalis asing.

Mulai dari sektor otomotif, perbankan, penerbangan, telekomunikasi, pertambangan, perkebunan, sampai sektor ritel, bahkan warung-warung kopi dan warung penjual ayam goreng sudah dikuasai kapitalis asing. Dan anak-anak kita cuma bisa menjadi jongos di di sana, lebih parah lagi anak-anak kita menyediakan diri dengan rela dan bangga menjadi obyek pasar mereka. Tak ubahnya di zaman penjajahan fisik sebelum sebelum Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan.

Jadi, wahai penguasa, renungkankah nasib berjuta-juta Ahmadi, dan hakikat kebangkitan (ekonomi) nasional itu.....

Andi Suruji
AHMADI, seorang sopir mobil sewaan antara Balikpapan dan Samarinda mengaku tidak paham makna kemerdekaan, Pancasila, dan kebangkitan nasional. Ia tahu persis daerahnya kaya akan hutan dan kayu-kayunya, tambang batu bara, perkebunan, dan penghasil minyak dan gas.

Akan tetapi ia tidak habis pikir, mengapa sebagai sopir begitu sulit mendapatkan BBM premium. Sebelum keluar dari kota Balikpapan menuju Samarida, sudah tiga SPBU yang hendak disinggahinya untuk mengisi tangki mobilnya dengan premium. Maklum, perjalanan cukup jauh. Namun ia selalu menjumpai kalimat teramat santun. “Maaf, bensin habis”. “Herannya, bensin banyak dijual di pinggir jalan dalam kemasan botol dan jeriken. Harganya lebih mahal ketimbang yang dijual di pom bensin,” katanya.

Itulah yang “digugatnya” dalam hati dan pikiran. Suaranya hanya sebatas gerutu. Paling-paling penumpangnya yang mendengarkan. Ia tak punya kekuatan dan kemauan untuk turun berdemo di jalan-jalan. Ia memilih bersabar, lebih baik tekun mencari nafkah buat anak-istri.

Kemerdekaan, Pancasila, dan kebangkitan nasional, tak lebih dari sebatas mitos baginya. Perwujudannya tidak, atau belum terasa baginya. Bahwa ada kemajuan ekonomi dan pembangunan, ia tidak menutup mata. Kalau tidak ada kemajuan ekonomi dan pembangunan, tidak mungkin ia bisa menjadi sopir mobil berharga seratusan juta rupiah. Walaupun ia hanya sebatas pekerja upahan.

Kesejahteraan memang terjadi, tetapi tidak bagi Ahmadi dan mereka yang senasib dengannya. Ketidakadilanlah yang mereka telan setiap saat. Padahal, ketidakadilan, dalam bidang apapun, ya hukum, politik, ekonomi, adalah biang dari segala konflik. Hampir semua konflik yang pecah di Tanah Air, bermula dari bersemainya dengan subur benih-benih ketidakadilan.

Ada benarnya pikiran Ahmadi. Bagaimana bisa pemerintah mengklaim telah mewujudkan sila kelima Pancasila, yakni “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” kalau orang-orang suku Dayak Kalimantan hanya sebatas menyaksikan tanah Kalimantan dikapling beribu-ribu hektar dengan gampangnya oleh orang-orang luar daerah. Sementara mereka sendiri tak dapat memiliki sejengkal pun lahan di tanah leluhurnya sendiri!

Mereka yang datang mengkapling-kapling wilayah Kalimantan, bukan hanya orang-orang berkulit bule seperti penjajah dulu. Orang-orang berkulit sejenis dengan dirinya pun banyak. Itulah gugatannya terhadap Pancasila, khususnya sila kelima.

Kini, dalam suasana Hari Kebangkitan Nasional yang kita peringati setiap tanggal 20 Mei, boleh jadi yang terlintas dalam ingatan kita adalah heroisme dan hiruk pikuk perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa ini. Ya kedaulatan di segala bidang. Tetapi heroisme perjuangan untuk berdaulat sebagai bangsa itu boleh jadi tinggal romantisme masa lalu.

Heroisme kebangkitan nasional sudah tergilas kapitalisme dan ditelan globalisme dengan anak kandung liberalisme. Semua sektor kehidupan diliberalisasi, sehingga modal dan kapital benar-benar berkibar di angkasa, laut dan daratan beserta segala isinya. Ketidakadilan dan kesenjangan sosial semakin melebar di mana-mana. Yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin tak beranjak berkurang secara signifikan. Mesin kapitalisme terus menggilas anak-anak bangsa yang tak berdaya memproduksi kemelaratan.

Penjajahan secara fisik memang telah dinyatakan lenyap dari bumi Indonesia, tetapi kolonialisme di bidang ekonomi justru semakin kuat mencengkramkan akar-akarnya. Atas nama globalisasi dan liberalisasi, semua sektor ekonomi sudah dikuasai kaum kapitalis. Kapitalis pribumi pun bahkan tak berdaya menghadapi kapitalis asing.

Mulai dari sektor otomotif, perbankan, penerbangan, telekomunikasi, pertambangan, perkebunan, sampai sektor ritel, bahkan warung-warung kopi dan warung penjual ayam goreng sudah dikuasai kapitalis asing. Dan anak-anak kita cuma bisa menjadi jongos di di sana, lebih parah lagi anak-anak kita menyediakan diri dengan rela dan bangga menjadi obyek pasar mereka. Tak ubahnya di zaman penjajahan fisik sebelum sebelum Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan.

Jadi, wahai penguasa, renungkankah nasib berjuta-juta Ahmadi, dan hakikat kebangkitan (ekonomi) nasional itu.....

Andi Suruji
thumbnail
Judul: Kebangkitan (Ekonomi) Nasional
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh

Artikel Terkait Ekonomi, Pendidikan :

0 comments:

Posting Komentar

 
Copyright © 2013. About - Sitemap - Contact - Privacy
Template Seo Elite oleh Bamz