JAKARTA - Industri automotif nasional menolak rencana Bank Indonesia (BI) yang akan menurunkan rasio kredit (loan to value) dengan cara menaikkan uang muka (down payment/DP) kredit automotif untuk mencegah terjadinya gelembung (bubble).
Vice President PT Hyundai Mobil Indonesia Mukiat Sutikno mengatakan, rencana kebijakan itu sangat kontraproduktif, sehingga tidak diperlukan.
"Kalau dilihat, default rate kredit para debitur automotif sangat kecil. Jadi, kenapa uang muka harus dinaikkan? Kecuali kalau default rate tersebut besar,” kata Mukiat di Jakarta, Selasa (26/7/2011).
Menurut Mukiat, proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional yang membaik dan peningkatan penduduk dari kelas menengah merupakan peluang bagi sektor automotif nasional untuk terus bertumbuh. Apabila BI tetap merealisasikan kebijakan tersebut, maka, ujarnya, penjualan kendaraan di bawah Rp150 juta per unit akan terhambat.
"Pangsa pasar kendaraan di bawah Rp150 juta sangat gemuk. Sejumlah Agen Pemegang Merek besar bahkan selalu mengandalkan penjualan tahunannya di segmen ini," jelas Mukiat.
Industri automotif nasional, lanjutnya, sangat sensitif terhadap kebijakan fiskal. Sedangkan BI dan pemerintah tidak pernah mengajak pelaku industri automotif nasional untuk berdiskusi. “Kalau sampai penjualan automotif jatuh, revenue pemerintah akan ikut jatuh,” tandas Mukiat.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Wiwie Kurnia mengatakan, apabila dilihat dari segi rasio kredit bermasalah, maka pembiayaan kredit sektor automotif justru masih sangat rendah.
"Pembiayaan kendaraan bermotor yang bermasalah menurun dari 1,6 persen pada April menjadi 1,3 persen pada Mei 2011. Karena itu, BI harus melihat dari sudut mana memandangnya,” kata Wiwie Kurnia.
Wiwie menjelaskan, selama semester I-2011, transaksi pembiayaan kendaraan di sejumlah perusahaan leasing naik 15- 20 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Chief Executive Officer PT Astra International Tbk Toyota Sales Operation Jodjana Jody mengatakan, sekira 70 persen penjualan kendaraan di bawah Rp150 juta masih dibiayai secara kredit sehingga masih sangat bergantung dengan DP. Konsumen, kata dia, sering mengeluhkan DP sebesar 20 persen terlalu besar. Apabila BI ingin menaikkan DP, maka penjualan di segmen komersial akan terganggu.
Komisaris PT Indomobil Sukses International Tbk Gunadi Sindhuwinata mengatakan, hal yang terkait dengan konsumen seperti penentuan tingkat besaran uang muka (down payment/DP) bukan menjadi tugas yang harus dilakukan oleh perbankan tapi institusi pembiayaan. Sehingga, menurutnya, perlu ada pembagian tugas yang jelas antara institusi pembiayaan dengan perbankan.
DP, lanjutnya, merupakan masalah bisnis dan resiko. Selama risiko bisa dikendalikan, maka seharusnya hal itu tidak menjadi masalah besar. DP, kata dia, justru bisa mendorong perkembangan industri automotif, karena bisa meningkkatkan penjualan.
Menurut Gunadi, yang perlu diperhatikan adalah kemampuan dan status dari konsumen harus jelas. Hal itu bisa mencegah terjadinya kredit macet.
“Mau lima persen atau berapapun besaran DP tidak ada masalah. Selama itu masih terukur dan tidak merusak struktur pembiayaan. Namun, seharusnya apabila DP ditingkatkan, maka harus didasari alasan yang rasional,” kata Gunadi.
Sementara itu, lebih lanjut Jody menegaskan, dia tak setuju dengan pernyataan bahwa besarnya penyerapan kredit dapat menimbulkan bubble di sektor automotif nasional.
"Tak akan mungkin ada bubble di sektor automotif karena orang beli mobil bukan untuk investasi melainkan konsumsi. Jadi, tak akan ada orang berspekulasi dengan mobil. Jangan samakan automotif dengan sektor properti,” tegas Jody.
Hal senada diungkapkan oleh Gunadi. Gunadi menjelaskan, bubble tidak akan terjadi di sektor automotif nasional. Pasalnya, kata dia, sektor itu bertumbuh sesuai dengan kebutuhan pasar. Pertumbuhan pasar automotif nasional, menurutnya, malah tidak seimbang dengan kondisi infrastruktur.
“Jadi, bubble automotif tidak perlu dikhawatirkan. Selain itu, kalau lihat di jalan-jalan, bukan terlalu banyak kendaraan tapi karena pengaturan lalu lintas dan kondisi infrastruktur yang masih belum bagus,” jelasnya.
(Sandra Karina/Koran SI/ade)
JAKARTA - Industri automotif nasional menolak rencana Bank Indonesia (BI) yang akan menurunkan rasio kredit (loan to value) dengan cara menaikkan uang muka (down payment/DP) kredit automotif untuk mencegah terjadinya gelembung (bubble).
Vice President PT Hyundai Mobil Indonesia Mukiat Sutikno mengatakan, rencana kebijakan itu sangat kontraproduktif, sehingga tidak diperlukan.
"Kalau dilihat, default rate kredit para debitur automotif sangat kecil. Jadi, kenapa uang muka harus dinaikkan? Kecuali kalau default rate tersebut besar,” kata Mukiat di Jakarta, Selasa (26/7/2011).
Menurut Mukiat, proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional yang membaik dan peningkatan penduduk dari kelas menengah merupakan peluang bagi sektor automotif nasional untuk terus bertumbuh. Apabila BI tetap merealisasikan kebijakan tersebut, maka, ujarnya, penjualan kendaraan di bawah Rp150 juta per unit akan terhambat.
"Pangsa pasar kendaraan di bawah Rp150 juta sangat gemuk. Sejumlah Agen Pemegang Merek besar bahkan selalu mengandalkan penjualan tahunannya di segmen ini," jelas Mukiat.
Industri automotif nasional, lanjutnya, sangat sensitif terhadap kebijakan fiskal. Sedangkan BI dan pemerintah tidak pernah mengajak pelaku industri automotif nasional untuk berdiskusi. “Kalau sampai penjualan automotif jatuh, revenue pemerintah akan ikut jatuh,” tandas Mukiat.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Wiwie Kurnia mengatakan, apabila dilihat dari segi rasio kredit bermasalah, maka pembiayaan kredit sektor automotif justru masih sangat rendah.
"Pembiayaan kendaraan bermotor yang bermasalah menurun dari 1,6 persen pada April menjadi 1,3 persen pada Mei 2011. Karena itu, BI harus melihat dari sudut mana memandangnya,” kata Wiwie Kurnia.
Wiwie menjelaskan, selama semester I-2011, transaksi pembiayaan kendaraan di sejumlah perusahaan leasing naik 15- 20 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Chief Executive Officer PT Astra International Tbk Toyota Sales Operation Jodjana Jody mengatakan, sekira 70 persen penjualan kendaraan di bawah Rp150 juta masih dibiayai secara kredit sehingga masih sangat bergantung dengan DP. Konsumen, kata dia, sering mengeluhkan DP sebesar 20 persen terlalu besar. Apabila BI ingin menaikkan DP, maka penjualan di segmen komersial akan terganggu.
Komisaris PT Indomobil Sukses International Tbk Gunadi Sindhuwinata mengatakan, hal yang terkait dengan konsumen seperti penentuan tingkat besaran uang muka (down payment/DP) bukan menjadi tugas yang harus dilakukan oleh perbankan tapi institusi pembiayaan. Sehingga, menurutnya, perlu ada pembagian tugas yang jelas antara institusi pembiayaan dengan perbankan.
DP, lanjutnya, merupakan masalah bisnis dan resiko. Selama risiko bisa dikendalikan, maka seharusnya hal itu tidak menjadi masalah besar. DP, kata dia, justru bisa mendorong perkembangan industri automotif, karena bisa meningkkatkan penjualan.
Menurut Gunadi, yang perlu diperhatikan adalah kemampuan dan status dari konsumen harus jelas. Hal itu bisa mencegah terjadinya kredit macet.
“Mau lima persen atau berapapun besaran DP tidak ada masalah. Selama itu masih terukur dan tidak merusak struktur pembiayaan. Namun, seharusnya apabila DP ditingkatkan, maka harus didasari alasan yang rasional,” kata Gunadi.
Sementara itu, lebih lanjut Jody menegaskan, dia tak setuju dengan pernyataan bahwa besarnya penyerapan kredit dapat menimbulkan bubble di sektor automotif nasional.
"Tak akan mungkin ada bubble di sektor automotif karena orang beli mobil bukan untuk investasi melainkan konsumsi. Jadi, tak akan ada orang berspekulasi dengan mobil. Jangan samakan automotif dengan sektor properti,” tegas Jody.
Hal senada diungkapkan oleh Gunadi. Gunadi menjelaskan, bubble tidak akan terjadi di sektor automotif nasional. Pasalnya, kata dia, sektor itu bertumbuh sesuai dengan kebutuhan pasar. Pertumbuhan pasar automotif nasional, menurutnya, malah tidak seimbang dengan kondisi infrastruktur.
“Jadi, bubble automotif tidak perlu dikhawatirkan. Selain itu, kalau lihat di jalan-jalan, bukan terlalu banyak kendaraan tapi karena pengaturan lalu lintas dan kondisi infrastruktur yang masih belum bagus,” jelasnya.
(Sandra Karina/Koran SI/ade)
Judul: Cegah Bubble Kredit, Industri Automotif Tolak Kenaikan Uang Muka
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Selasa, Juli 26, 2011
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Selasa, Juli 26, 2011
0 comments:
Posting Komentar