“Estimasi total merugian karena dampak kemacetan di Jakarta mencapai Rp28,1 triliun,” kata pakar lingkungan Fakultas Tehnik Universitas Indonesia Dr Firdaus Ali MSc, dalam diskusi di Jakarta, Kamis. Sumber: Antara
Apa yang pertama kali muncul di benak kita ketika melihat pemandangan tersebut?
Ya, sederhana mungkin. Masalahnya hanya ada pad kendaraan di depannya tidak mau jalan. Satu berhenti, yang di belakang pun semua berhenti, terjadilah macet.
Lalu siapa yang bisa disalahkan?
Kendaraan umum yang sering me-ngetem-kah?
Volume kendaraan yang padat?
Sirkulasi jalur yang kurang efisien? Atau ruas jalan yang sempit?
Saya bukan seorang yang ahli dan tahu banyak soal kemacetan kota. Namun saya rasa masalah ini bukan lagi menjadi tanggung jawab Pemda atau pihak yang terkait. Permasalahan di Jakarta sudah sedemikian kompleks. Satu saja masalah kecil yang terabaikan akan menimbulkan cabang masalah baru dari akibat masalah yang kurang cepat tanggap dalam penyelesaiannya.
Masalah pertama;
Kendaraan umum bisa menjadi satu solusi mengatasi kemacetan. Jika warga Jakarta lebih memanfaatkan kendaraan umum, maka hal ini dapat mengurangi volume kendaraan. Sehingga dapat menghemat space ruas jalan.
Namun, supaya kendaraan umum dapat lebih dimanfaatkan oleh warga Jakarta, haruslah fasilitasnya diperbaiki. Agar memberikan pelayanan yang prima pada calon pengguna. Dengan begitu dapat menarik niat warga Jakarta untuk lebih memanfaatkannya.
Masalah Kedua;
Volume kendaraan yang padat, akibat dari penjualan mobil yang tidak dibatasi dan pajak yang murah. Dengan murahnya harga beli kendaraan pribadi yang lebih terjangkau. Membuat meningkatnya pembelian dari tahun ke tahun. Selain itu pula karena tarif parker pun murah. Masalah yang satu ini pun terkait dengan tipikal warga Jakarta yang enggan berpola hidup sederhana.
Nampaknya perlu adanya peningkatan pajak, tarif parkir, dan kewajiban bahan bakar bukan premium (untuk mobil). Kebijakan ini pun masih bisa diberikan kelonggaran agar tidak terlalu mencekik para pengguna kendaraan pribadi. Kebijakan ini bisa diterapkan pada hari-hari kerja saja (senin-jum’at). Karena kelima hari inilah yang menjadi rutinitas warga Jakarta. Dengan begitu para calon pengguna jalan akan berfikir dua kali untuk menggunakan kendaraan pribadi.
Masalah ketiga;
Sirkulasi jalur mungkin hanya pada ruas jalannya yang sempit untuk ukuran Jakarta yang macet ini. Namun bisa di atasi dengan pembangunan seperti flyover atau underpass.
Bagaimanapun juga semua akan kembali kepada kesadaran diri warga Jakarta masing-masing. Saling gotong-royong mengatasi kemacetan. Perlu adanya pengertian masing-masing individu. sumber - http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/07/solusi-kemacetan-jakarta-2/
“Estimasi total merugian karena dampak kemacetan di Jakarta mencapai Rp28,1 triliun,” kata pakar lingkungan Fakultas Tehnik Universitas Indonesia Dr Firdaus Ali MSc, dalam diskusi di Jakarta, Kamis. Sumber: Antara
Apa yang pertama kali muncul di benak kita ketika melihat pemandangan tersebut?
Ya, sederhana mungkin. Masalahnya hanya ada pad kendaraan di depannya tidak mau jalan. Satu berhenti, yang di belakang pun semua berhenti, terjadilah macet.
Lalu siapa yang bisa disalahkan?
Kendaraan umum yang sering me-ngetem-kah?
Volume kendaraan yang padat?
Sirkulasi jalur yang kurang efisien? Atau ruas jalan yang sempit?
Saya bukan seorang yang ahli dan tahu banyak soal kemacetan kota. Namun saya rasa masalah ini bukan lagi menjadi tanggung jawab Pemda atau pihak yang terkait. Permasalahan di Jakarta sudah sedemikian kompleks. Satu saja masalah kecil yang terabaikan akan menimbulkan cabang masalah baru dari akibat masalah yang kurang cepat tanggap dalam penyelesaiannya.
Masalah pertama;
Kendaraan umum bisa menjadi satu solusi mengatasi kemacetan. Jika warga Jakarta lebih memanfaatkan kendaraan umum, maka hal ini dapat mengurangi volume kendaraan. Sehingga dapat menghemat space ruas jalan.
Namun, supaya kendaraan umum dapat lebih dimanfaatkan oleh warga Jakarta, haruslah fasilitasnya diperbaiki. Agar memberikan pelayanan yang prima pada calon pengguna. Dengan begitu dapat menarik niat warga Jakarta untuk lebih memanfaatkannya.
Masalah Kedua;
Volume kendaraan yang padat, akibat dari penjualan mobil yang tidak dibatasi dan pajak yang murah. Dengan murahnya harga beli kendaraan pribadi yang lebih terjangkau. Membuat meningkatnya pembelian dari tahun ke tahun. Selain itu pula karena tarif parker pun murah. Masalah yang satu ini pun terkait dengan tipikal warga Jakarta yang enggan berpola hidup sederhana.
Nampaknya perlu adanya peningkatan pajak, tarif parkir, dan kewajiban bahan bakar bukan premium (untuk mobil). Kebijakan ini pun masih bisa diberikan kelonggaran agar tidak terlalu mencekik para pengguna kendaraan pribadi. Kebijakan ini bisa diterapkan pada hari-hari kerja saja (senin-jum’at). Karena kelima hari inilah yang menjadi rutinitas warga Jakarta. Dengan begitu para calon pengguna jalan akan berfikir dua kali untuk menggunakan kendaraan pribadi.
Masalah ketiga;
Sirkulasi jalur mungkin hanya pada ruas jalannya yang sempit untuk ukuran Jakarta yang macet ini. Namun bisa di atasi dengan pembangunan seperti flyover atau underpass.
Bagaimanapun juga semua akan kembali kepada kesadaran diri warga Jakarta masing-masing. Saling gotong-royong mengatasi kemacetan. Perlu adanya pengertian masing-masing individu. sumber - http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/07/solusi-kemacetan-jakarta-2/
Judul: Kemacetan Jakarta
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Jumat, Juli 15, 2011
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Jumat, Juli 15, 2011
0 comments:
Posting Komentar