Pemprov DKI kembali akan mengeluarkan kebijakan ERP (Electronic Road Pricing) di Jakarta. Kemacetan yang semakin menjadi dituding sebagai pemicu kebijakan ini.
Tengok saja pertumbuhan jumlah kendaraan yang sebesar 1.117 per hari atau sekitar 9% per tahun, jelas tak sebanding dengan pertumbuhan ruas jalan yang hanya sebesar 0.01% per tahun.
Dengan mengimplementasikan kebijakan ERP, barangkali Pemprov berhipotesa bahwa kebijakan tersebut akan dapat mengurangi pemakaian kendaraan pribadi karena untuk melewati ruas jalan tertentu, pengguna kendaraan harus membayarkan sejumlah uang yang dipotong dari electronic ticket.
Solusi yang mengedepankan teknologi dipilih alih-alih membereskan akar permasalahan kemacetan. Seperti kita ketahui, sebab utama menjamurnya kendaraan pribadi adalah karena buruknya layanan transportasi publik. Jadi ane pikir tidak tepat rasanya jika Pemprov malah mengeluarkan kebijakan yang sifatnya melarang atau membatasi apalagi ERP yang bertujuan mengekang keinginan berkendara pribadi dengan membayar sejumlah biaya pemakaian jalan.
ERP yang bukan barang baru di negara tetangga, Singapura ini menuai kritik dari warga dunia maya, banyak yang pesimis dengan ERP ini, ada pula yang mencibir Indonesia ketinggalan zaman. Namun adapula yang mendukung. Adapula yang berpendapat, kebijakan pemprov selalu saja mencontek negara lain tanpa mau melihat perbedaan taraf kemapanan finansial dan intelektual masyarakat.
Menengok reaksi dari komunitas mobil, seperti yang diberitakan seorang kawan ane yang aktif di sana, kebanyakan mendukung ERP ini dengan disertai harapan akan membaiknya layanan transportasi publik. Mereka bosan bermobil ke lokasi beraktivitas. ERP dianggap tidak akan menyelesaikan masalah, biaya tol harian saja yang mencapai kurang lebih Rp 40,000 per hari banyak yang mau melakoni kok, kenapa ERP gak mampu bayar?
Sedemikian muaknya masyarakat terhadap kualitas layanan transportasi publik sehingga mereka mau merogoh kocek lebih dalam untuk memperoleh kenyamanan.
Dari kebijakan yang sudah-sudah, reaksi pro dan kontra berdatangan. Kali ini ERP juga belum jelas apakah akan diterapkan kepada kendaraan roda 4 ataukah roda 2 akan ikut terkena dampak ERP. Jika roda 2 terkena dampak ERP, kebijakan ini berarti hanyalah topeng dari kebijakan pembatasan sepeda motor.
Padahal dengan pertambahan jumlah kendaraan yang sama, mobil akan lebih memenuhi volume jalan karena dimensinya lebih besar. Tapi mengapa sepeda motor yang disalahkan? Aha…mungkin karena perilaku minus yang sering terlihat membuat jalanan menjadi semrawut. Apakah ERP solusinya?
Investasi ERP pun tidaklah kecil, namun berpotensi mendatangkan pemasukan yang besar pula yang berdampak kepada BEP yang cepat. Apakah ini target utama Pemprov? To make profit?
Semoga saja bukan itu, karena masyarakat ingin mendapatkan pelayanan transportasi atas pajak yang mereka bayarkan.
Tidak ada alasan masyarakat Jakarta bisa meninggalkan kendaraan pribadi mereka jika angkutan massal yang tersedia saat ini tidak aman dan nyaman seperti yang diidamkan warga. Justru dia khawatir, pasti masyarakat akan lebih cerdik agar tidak terkena beban tarif tersebut. Terlebih dengan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Kini Ditlantas Polda Metro Jaya mengusulkan tarif untuk Electronic Road Pricing (ERP) berkisar pada angka Rp 50-100 ribu, terbilang tinggi memang. Sementara itu, kajian sementara dari DKI Jakarta sendiri, tarif ERP berkisar antara Rp 6.500 hingga Rp 21.000.
Namun kedua usulan ini belum disepakati karena berdasarkan PP Keuangan yang mengatur tentang jenis tarif yang akan dibebankan masih diproses di Kementerian Keuangan. Yang jelas, besaran nilai yang akan dibebankan pada masyarakat harus mempertimbangkan tiga komponen yaitu kemampuan dan keinginan orang membayar, tarif tol yang berlaku dan tarif ERP di negara lain.
Maka dari itu sebenarnya tidaklah perlu membuat ERP seperti ini, jika kendaraan angkutan umum diperbaiki secara keseluruhan, maka secara otomatis warga akan respect dan mau menggunakan kendaraan umum, bisa contoh dari negara luar yang sudah berkembang dan maju.
Pemprov DKI kembali akan mengeluarkan kebijakan ERP (Electronic Road Pricing) di Jakarta. Kemacetan yang semakin menjadi dituding sebagai pemicu kebijakan ini.
Tengok saja pertumbuhan jumlah kendaraan yang sebesar 1.117 per hari atau sekitar 9% per tahun, jelas tak sebanding dengan pertumbuhan ruas jalan yang hanya sebesar 0.01% per tahun.
Dengan mengimplementasikan kebijakan ERP, barangkali Pemprov berhipotesa bahwa kebijakan tersebut akan dapat mengurangi pemakaian kendaraan pribadi karena untuk melewati ruas jalan tertentu, pengguna kendaraan harus membayarkan sejumlah uang yang dipotong dari electronic ticket.
Solusi yang mengedepankan teknologi dipilih alih-alih membereskan akar permasalahan kemacetan. Seperti kita ketahui, sebab utama menjamurnya kendaraan pribadi adalah karena buruknya layanan transportasi publik. Jadi ane pikir tidak tepat rasanya jika Pemprov malah mengeluarkan kebijakan yang sifatnya melarang atau membatasi apalagi ERP yang bertujuan mengekang keinginan berkendara pribadi dengan membayar sejumlah biaya pemakaian jalan.
ERP yang bukan barang baru di negara tetangga, Singapura ini menuai kritik dari warga dunia maya, banyak yang pesimis dengan ERP ini, ada pula yang mencibir Indonesia ketinggalan zaman. Namun adapula yang mendukung. Adapula yang berpendapat, kebijakan pemprov selalu saja mencontek negara lain tanpa mau melihat perbedaan taraf kemapanan finansial dan intelektual masyarakat.
Menengok reaksi dari komunitas mobil, seperti yang diberitakan seorang kawan ane yang aktif di sana, kebanyakan mendukung ERP ini dengan disertai harapan akan membaiknya layanan transportasi publik. Mereka bosan bermobil ke lokasi beraktivitas. ERP dianggap tidak akan menyelesaikan masalah, biaya tol harian saja yang mencapai kurang lebih Rp 40,000 per hari banyak yang mau melakoni kok, kenapa ERP gak mampu bayar?
Sedemikian muaknya masyarakat terhadap kualitas layanan transportasi publik sehingga mereka mau merogoh kocek lebih dalam untuk memperoleh kenyamanan.
Dari kebijakan yang sudah-sudah, reaksi pro dan kontra berdatangan. Kali ini ERP juga belum jelas apakah akan diterapkan kepada kendaraan roda 4 ataukah roda 2 akan ikut terkena dampak ERP. Jika roda 2 terkena dampak ERP, kebijakan ini berarti hanyalah topeng dari kebijakan pembatasan sepeda motor.
Padahal dengan pertambahan jumlah kendaraan yang sama, mobil akan lebih memenuhi volume jalan karena dimensinya lebih besar. Tapi mengapa sepeda motor yang disalahkan? Aha…mungkin karena perilaku minus yang sering terlihat membuat jalanan menjadi semrawut. Apakah ERP solusinya?
Investasi ERP pun tidaklah kecil, namun berpotensi mendatangkan pemasukan yang besar pula yang berdampak kepada BEP yang cepat. Apakah ini target utama Pemprov? To make profit?
Semoga saja bukan itu, karena masyarakat ingin mendapatkan pelayanan transportasi atas pajak yang mereka bayarkan.
Tidak ada alasan masyarakat Jakarta bisa meninggalkan kendaraan pribadi mereka jika angkutan massal yang tersedia saat ini tidak aman dan nyaman seperti yang diidamkan warga. Justru dia khawatir, pasti masyarakat akan lebih cerdik agar tidak terkena beban tarif tersebut. Terlebih dengan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Kini Ditlantas Polda Metro Jaya mengusulkan tarif untuk Electronic Road Pricing (ERP) berkisar pada angka Rp 50-100 ribu, terbilang tinggi memang. Sementara itu, kajian sementara dari DKI Jakarta sendiri, tarif ERP berkisar antara Rp 6.500 hingga Rp 21.000.
Namun kedua usulan ini belum disepakati karena berdasarkan PP Keuangan yang mengatur tentang jenis tarif yang akan dibebankan masih diproses di Kementerian Keuangan. Yang jelas, besaran nilai yang akan dibebankan pada masyarakat harus mempertimbangkan tiga komponen yaitu kemampuan dan keinginan orang membayar, tarif tol yang berlaku dan tarif ERP di negara lain.
Maka dari itu sebenarnya tidaklah perlu membuat ERP seperti ini, jika kendaraan angkutan umum diperbaiki secara keseluruhan, maka secara otomatis warga akan respect dan mau menggunakan kendaraan umum, bisa contoh dari negara luar yang sudah berkembang dan maju.
Judul: Rencana kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) di DKI Jakarta
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Minggu, Juli 10, 2011
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Minggu, Juli 10, 2011
0 comments:
Posting Komentar