Selasa, 07 Februari 2012

Mengurai Kebijakan Pembatasan BBM

Setelah berkali-kali melontarkan gagasan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, akhirnya Pemerintah kali ini bertekad merealisasikannya. Mulai 1 April mendatang, pembatasan BBM diberlakukan di Jawa dan Bali. Lalu, pada 2013 dan 2014, kebijakan itu diperluas ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Semua mobil berpelat hitam dilarang membeli BBM bersubsidi alias premium, yang harganya Rp4.500/liter. BBM bersubsidi itu hanya diperuntukkan kendaraan berpelat kuning dan sepeda motor. Untuk mobil berpelat hitam, pilihannya ada dua, harus membeli pertamax atau berpindah ke bahan bakar gas.

Kebijakan ini tidak terlepas dari meningkatnya konsumsi BBM kita, ditambah naiknya harga minyak dunia dan membuat alokasi anggaran meningkat. Hal itu yang menjadi alasan kuat Pemerintah untuk membatasi BBM bersubsidi. Selain itu, Pemerintah pun berujar bahwa subsidi BBM justru dinikmati kalangan mampu.

Sepintas lalu, alasan Pemerintah memang tampak masuk akal. Mungkin saja upaya pembatasan BBM adalah langkah positif dari Pemerintah, tidaklah patut untuk terlebih dahulu berprasangka buruk. Akan tetapi, terlalu naif juga bila kita menarik kesimpulan bahwa kebijakan pembatasan tersebut tidak terlepas dari berbagai kepentingan dan motivasi terselubung. Sehingga, alangkah baiknya bila kebijakan pembatasan tersebut kita kritisi secara mendalam sebelum diimplementasikan, tentunya dapat kita urai dan pertanyakan dari berbagai sisi.

Pertama, apakah kebijakan pembatasan BBM ini merupakan langkah awal menuju penghapusan subsidi BBM? Pertanyaan ini menjadi penting untuk diajukan, sebab bila muaranya ke arah penghapusan subsidi, harus segera ditolak. Beberapa kali wacana pencabutan subsidi BBM dilontarkan oleh Pemerintah, tetapi penolakan terhadap wacana ini sangat deras, pakar-pakar ekonomi dan energi, maupun parlemen sendiri sangat keras menolaknya.

Liberalisasi Ekonomi

Apabila Pemerintah berniat mencabut subsidi BBM, sesungguhnya hal itu tidak terlepas dari liberalisasi ekonomi yang merupakan agenda dari Washington Consensus. Ada empat hal yang menjadi agenda utama dari Washington Consensus, salah satunya adalah kebijakan anggaran ketat melalui penghapusan subsidi (Stiglitz, 2002). Tentunya dapat dengan mudah melihat sasaran dari penghapusan subsidi BBM ini, yaitu mempercepat berlakunya mekanisme pasar dalam penentuan harga minyak di Indonesia dan berada di luar kontrol Pemerintah. Bila hal ini terjadi, maka tidak ada lagi proteksi kebutuhan rakyat miskin dalam hal BBM, karena semuanya ditentukan pasar dan Pemerintah tidak dapat melakukan intervensi.

Berlakunya mekanisme pasar tentu akan menguntungkan jaringan SPBU asing, seperti Shell, Total dan Petronas yang telah masuk di beberapa kota di Indonesia. Selama ini jaringan SPBU tersebut sulit berkembang, lantaran kalah bersaing dengan SPBU yang menjual BBM bersubsidi dari Pertamina. Apabila mekanisme pasar diberlakukan, maka bukan tidak mungkin SPBU asing akan dibanjiri konsumen ketimbang Pertamina.

Bahkan, bila Pertamina dibiarkan begitu saja dan dipaksakan berkompetisi dengan perusahaan asing tersebut, mudah untuk memprediksinya, Pertamina pasti akan tumbang. Karena pada dasarnya perusahaan asing itu merupakan raksasa dunia dalam hal perminyakan, bisnis dengan jaringan modal yang besar, pasokan kuat dan memiliki manajemen yang handal. Tentunya kondisi itu berbanding terbalik dengan Pertamina, di mana Pertamina saat ini sedang melakukan transformasi dan belum siap betul untuk bertarung secara terbuka.

Kedua, Pemerintah selama ini sadar bahwa kebanyakan subsidi BBM memang dinikmati oleh kalangan mampu, sesungguhnya bukan hanya subsidi BBM, subsidi kesehatan, pendidikan, dan subsidi lainnya. Apakah semua hal itu terjadi karena kesalahan subsidi atau perilaku dari kelompok menengah-atas yang tidak peduli terhadap sesamanya yang papa? Tentunya tidak sepenuhnya kesalahan kaum menengah-atas, tetapi ada hal yang lebih substansial, yaitu struktur ekonomi yang sudah terlanjur timpang yang menjadi penyebabnya.

Ketimpangan ekonomi yang selama ini terjadi telah membatasi rakyat miskin untuk mendapatkan BBM yang sudah bersubsidi sekalipun. Meskipun BBM itu dijual dengan harga relatif "murah" karena telah disubsidi, tapi ketiadaan sumber daya ekonomi menyebabkan rakyat miskin tidak dapat membeli BBM bersubsidi itu, sehingga subsidi digunakan oleh kelas menengah-atas.

Apabila Pemerintah berniat mencegah berlanjutnya pemberian subsidi terhadap kalangan mampu, yang seharusnya dilakukan bukanlah pembatasan BBM. Pemerintah seharusnya melakukan koreksi secara sistematis terhadap struktur perekonomian yang timpang itu dan mengupayakan percepatan pengentasan kemiskinan.

Ketiga, jika mengacu pada sisi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), membengkaknya anggaran dan beratnya beban anggaran tidak dapat dikaitkan begitu saja karena subsidi BBM. Karena membengkaknya beban APBN lebih disebabkan oleh faktor cicilan dan bunga utang dalam maupun luar negeri.

Malahan, saat ini jumlah utang Pemerintah cenderung meningkat setiap tahunnya. Hal itu mengakibatkan lonjakan dalam pembayaran cicilan utang dan bunga setiap tahunnya dan menjadi beban berat APBN. Tercatat rata-rata per tahunnya pembayaran angsuran pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri sebesar Rp. 140-150 trilyun (Baswir, 2010).

Sehingga, bila ingin mengurangi beban anggaran dalam APBN, bukanlah subsidi BBM yang dipangkas, melainkan beban utang dalam maupun luar negeri yang harus diperkecil. Peningkatan utang yang terus-menerus membuat Indonesia terjebak pada jebakan utang, yaitu "gali utang bayar utang" yang berdampak negatif bagi APBN.

Maka dari itu, Pemerintah perlu melakukan terobosan radikal berkaitan dengan utang, seperti program restrukturisasi utang untuk memotong jebakan itu. Restrukturisasi diupayakan untuk menyelesaikan beban pembayaran cicilan pokok utang dan bunga hingga mencapai angka nol rupiah dalam APBN. Tentunya dapat dilakukan lewat moratorium, penjadwalan ulang dan penghapusan utang, tanpa harus menambah utang baru. Hal ini lebih memungkinkan dilakukan untuk mengurangi beban dalam APBN ketimbang penghapusan subsidi. Bila Pemerintah berani melakukan restrukturisasi, maka secara tidak langsung menunjukkan power pemerintah Indonesia di mata internasional.

Keempat, ada upaya untuk mengarahkan atau bahkan memaksa masyarakat pemilik kendaraan pribadi beralih memakai pertamax. Berbagai pihak pun tahu dan sadar betul, bahwa perusahaan atau SPBU asinglah yang menguasai pasar pertamax di Indonesia. Oleh karena itu, upaya ini justru akan semakin memperkaya para pemain asing yang dengan sendirinya akan diuntungkan, sementara rakyat Indonesia makin sengsara.

Kelima, Pemerintah kerap kali beragumen: pembatasan BBM untuk melindungi hak penduduk miskin yang selama ini terbengkalai. Memang, selama ini subsidi BBM tidak tepat sasaran, lebih dari 70 persen subsidi BBM dinikmati orang-orang kalangan menengah-atas yang tidak berhak. Dalam posisi ini, Pemerintah terkesan heroik dan seolah sedang membela rakyat miskin dan berada di garis terdepan dalam memperjuangkan nasib rakyat miskin.

Namun, alasan ini terlalu mengeksploitasi kaum miskin, selain itu memicu terjadinya pertentangan kelas. Dan yang terpenting adalah, penduduk miskin dijadikan sebagai tameng untuk memuluskan agenda terselubung dari pembatasan BBM ini yang menurut prediksi para ekonom akan mengarah pada pencabutan subsidi.

Dari berbagai uraian di atas, apakah kebijakan pembatasan BBM merupakan langkah yang tepat dan harus dilakukan oleh Pemerintah? Menurut hemat saya, Pemerintah tidaklah perlu gegabah dan memilih opsi pembatasan tersebut. Sudah terlalu lama Pemerintahan ini tunduk pada kepentingan-kepentingan di luar rakyat, sudah saatnya kembali ke pangkuan rakyat dan benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, jangan hanya retorika tanpa tindakan. ***

Oleh : Wandi Prawisnu Simanullang - Penulis adalah Aktivis Sosial, Alumni FISIP UPN Veteran dan Mahasiswa Magister Manajemen UGM Yogyakarta
Setelah berkali-kali melontarkan gagasan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, akhirnya Pemerintah kali ini bertekad merealisasikannya. Mulai 1 April mendatang, pembatasan BBM diberlakukan di Jawa dan Bali. Lalu, pada 2013 dan 2014, kebijakan itu diperluas ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Semua mobil berpelat hitam dilarang membeli BBM bersubsidi alias premium, yang harganya Rp4.500/liter. BBM bersubsidi itu hanya diperuntukkan kendaraan berpelat kuning dan sepeda motor. Untuk mobil berpelat hitam, pilihannya ada dua, harus membeli pertamax atau berpindah ke bahan bakar gas.

Kebijakan ini tidak terlepas dari meningkatnya konsumsi BBM kita, ditambah naiknya harga minyak dunia dan membuat alokasi anggaran meningkat. Hal itu yang menjadi alasan kuat Pemerintah untuk membatasi BBM bersubsidi. Selain itu, Pemerintah pun berujar bahwa subsidi BBM justru dinikmati kalangan mampu.

Sepintas lalu, alasan Pemerintah memang tampak masuk akal. Mungkin saja upaya pembatasan BBM adalah langkah positif dari Pemerintah, tidaklah patut untuk terlebih dahulu berprasangka buruk. Akan tetapi, terlalu naif juga bila kita menarik kesimpulan bahwa kebijakan pembatasan tersebut tidak terlepas dari berbagai kepentingan dan motivasi terselubung. Sehingga, alangkah baiknya bila kebijakan pembatasan tersebut kita kritisi secara mendalam sebelum diimplementasikan, tentunya dapat kita urai dan pertanyakan dari berbagai sisi.

Pertama, apakah kebijakan pembatasan BBM ini merupakan langkah awal menuju penghapusan subsidi BBM? Pertanyaan ini menjadi penting untuk diajukan, sebab bila muaranya ke arah penghapusan subsidi, harus segera ditolak. Beberapa kali wacana pencabutan subsidi BBM dilontarkan oleh Pemerintah, tetapi penolakan terhadap wacana ini sangat deras, pakar-pakar ekonomi dan energi, maupun parlemen sendiri sangat keras menolaknya.

Liberalisasi Ekonomi

Apabila Pemerintah berniat mencabut subsidi BBM, sesungguhnya hal itu tidak terlepas dari liberalisasi ekonomi yang merupakan agenda dari Washington Consensus. Ada empat hal yang menjadi agenda utama dari Washington Consensus, salah satunya adalah kebijakan anggaran ketat melalui penghapusan subsidi (Stiglitz, 2002). Tentunya dapat dengan mudah melihat sasaran dari penghapusan subsidi BBM ini, yaitu mempercepat berlakunya mekanisme pasar dalam penentuan harga minyak di Indonesia dan berada di luar kontrol Pemerintah. Bila hal ini terjadi, maka tidak ada lagi proteksi kebutuhan rakyat miskin dalam hal BBM, karena semuanya ditentukan pasar dan Pemerintah tidak dapat melakukan intervensi.

Berlakunya mekanisme pasar tentu akan menguntungkan jaringan SPBU asing, seperti Shell, Total dan Petronas yang telah masuk di beberapa kota di Indonesia. Selama ini jaringan SPBU tersebut sulit berkembang, lantaran kalah bersaing dengan SPBU yang menjual BBM bersubsidi dari Pertamina. Apabila mekanisme pasar diberlakukan, maka bukan tidak mungkin SPBU asing akan dibanjiri konsumen ketimbang Pertamina.

Bahkan, bila Pertamina dibiarkan begitu saja dan dipaksakan berkompetisi dengan perusahaan asing tersebut, mudah untuk memprediksinya, Pertamina pasti akan tumbang. Karena pada dasarnya perusahaan asing itu merupakan raksasa dunia dalam hal perminyakan, bisnis dengan jaringan modal yang besar, pasokan kuat dan memiliki manajemen yang handal. Tentunya kondisi itu berbanding terbalik dengan Pertamina, di mana Pertamina saat ini sedang melakukan transformasi dan belum siap betul untuk bertarung secara terbuka.

Kedua, Pemerintah selama ini sadar bahwa kebanyakan subsidi BBM memang dinikmati oleh kalangan mampu, sesungguhnya bukan hanya subsidi BBM, subsidi kesehatan, pendidikan, dan subsidi lainnya. Apakah semua hal itu terjadi karena kesalahan subsidi atau perilaku dari kelompok menengah-atas yang tidak peduli terhadap sesamanya yang papa? Tentunya tidak sepenuhnya kesalahan kaum menengah-atas, tetapi ada hal yang lebih substansial, yaitu struktur ekonomi yang sudah terlanjur timpang yang menjadi penyebabnya.

Ketimpangan ekonomi yang selama ini terjadi telah membatasi rakyat miskin untuk mendapatkan BBM yang sudah bersubsidi sekalipun. Meskipun BBM itu dijual dengan harga relatif "murah" karena telah disubsidi, tapi ketiadaan sumber daya ekonomi menyebabkan rakyat miskin tidak dapat membeli BBM bersubsidi itu, sehingga subsidi digunakan oleh kelas menengah-atas.

Apabila Pemerintah berniat mencegah berlanjutnya pemberian subsidi terhadap kalangan mampu, yang seharusnya dilakukan bukanlah pembatasan BBM. Pemerintah seharusnya melakukan koreksi secara sistematis terhadap struktur perekonomian yang timpang itu dan mengupayakan percepatan pengentasan kemiskinan.

Ketiga, jika mengacu pada sisi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), membengkaknya anggaran dan beratnya beban anggaran tidak dapat dikaitkan begitu saja karena subsidi BBM. Karena membengkaknya beban APBN lebih disebabkan oleh faktor cicilan dan bunga utang dalam maupun luar negeri.

Malahan, saat ini jumlah utang Pemerintah cenderung meningkat setiap tahunnya. Hal itu mengakibatkan lonjakan dalam pembayaran cicilan utang dan bunga setiap tahunnya dan menjadi beban berat APBN. Tercatat rata-rata per tahunnya pembayaran angsuran pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri sebesar Rp. 140-150 trilyun (Baswir, 2010).

Sehingga, bila ingin mengurangi beban anggaran dalam APBN, bukanlah subsidi BBM yang dipangkas, melainkan beban utang dalam maupun luar negeri yang harus diperkecil. Peningkatan utang yang terus-menerus membuat Indonesia terjebak pada jebakan utang, yaitu "gali utang bayar utang" yang berdampak negatif bagi APBN.

Maka dari itu, Pemerintah perlu melakukan terobosan radikal berkaitan dengan utang, seperti program restrukturisasi utang untuk memotong jebakan itu. Restrukturisasi diupayakan untuk menyelesaikan beban pembayaran cicilan pokok utang dan bunga hingga mencapai angka nol rupiah dalam APBN. Tentunya dapat dilakukan lewat moratorium, penjadwalan ulang dan penghapusan utang, tanpa harus menambah utang baru. Hal ini lebih memungkinkan dilakukan untuk mengurangi beban dalam APBN ketimbang penghapusan subsidi. Bila Pemerintah berani melakukan restrukturisasi, maka secara tidak langsung menunjukkan power pemerintah Indonesia di mata internasional.

Keempat, ada upaya untuk mengarahkan atau bahkan memaksa masyarakat pemilik kendaraan pribadi beralih memakai pertamax. Berbagai pihak pun tahu dan sadar betul, bahwa perusahaan atau SPBU asinglah yang menguasai pasar pertamax di Indonesia. Oleh karena itu, upaya ini justru akan semakin memperkaya para pemain asing yang dengan sendirinya akan diuntungkan, sementara rakyat Indonesia makin sengsara.

Kelima, Pemerintah kerap kali beragumen: pembatasan BBM untuk melindungi hak penduduk miskin yang selama ini terbengkalai. Memang, selama ini subsidi BBM tidak tepat sasaran, lebih dari 70 persen subsidi BBM dinikmati orang-orang kalangan menengah-atas yang tidak berhak. Dalam posisi ini, Pemerintah terkesan heroik dan seolah sedang membela rakyat miskin dan berada di garis terdepan dalam memperjuangkan nasib rakyat miskin.

Namun, alasan ini terlalu mengeksploitasi kaum miskin, selain itu memicu terjadinya pertentangan kelas. Dan yang terpenting adalah, penduduk miskin dijadikan sebagai tameng untuk memuluskan agenda terselubung dari pembatasan BBM ini yang menurut prediksi para ekonom akan mengarah pada pencabutan subsidi.

Dari berbagai uraian di atas, apakah kebijakan pembatasan BBM merupakan langkah yang tepat dan harus dilakukan oleh Pemerintah? Menurut hemat saya, Pemerintah tidaklah perlu gegabah dan memilih opsi pembatasan tersebut. Sudah terlalu lama Pemerintahan ini tunduk pada kepentingan-kepentingan di luar rakyat, sudah saatnya kembali ke pangkuan rakyat dan benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, jangan hanya retorika tanpa tindakan. ***

Oleh : Wandi Prawisnu Simanullang - Penulis adalah Aktivis Sosial, Alumni FISIP UPN Veteran dan Mahasiswa Magister Manajemen UGM Yogyakarta
thumbnail
Judul: Mengurai Kebijakan Pembatasan BBM
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh

Artikel Terkait Ekonomi, Otomotif :

0 comments:

Posting Komentar

 
Copyright © 2013. About - Sitemap - Contact - Privacy
Template Seo Elite oleh Bamz