Jumat, 15 Juli 2011

Kota Sepeda di Tengah Gempuran Mobil Murah

Bersepeda ke Kantor, Antar Sekolah, hingga Berjualan
Beijing dikenal sebagai kota sepeda. Meski kini ibu kota Tiongkok itu digempur mobil murah, warganya tidak meninggalkan kebiasaan bersepeda. Pemerintahnya pun punya kebijakan yang ramah bagi para pesepeda. HENDRIYANTO, Beijing

Sudah lewat tengah hari tapi matahari tak juga menampakkan diri di langit kota Beijing. Bangunan pencakar langit yang berderet di kiri-kanan jalan berselubung kabut asap. Ibukota Tiongkok itu memang termasuk kota dengan polusi udara terburuk di dunia. Polusi yang parah tersebut tidak hanya disumbang asap knalpot mobil yang jumlahnya jutaan dan terus bertambah, tapi juga dari pusat pembangkit listrik batu bara, pengolahan baja, industri dan pabrik-pabrik.

Itulah mesin penggerak ekonomi Tiongkok hingga maju pesat, sekaligus penyumbang polusi terbesar. Saat INDOPOS berkunjung ke Kota Beijing peka kemarin, warga ibu kota itu mengayuh sepedanya di siang bolong tanpa helm dengan hanya memakai kaus dan celana pendek. Ya, Beijing memang dikenal sebagai kota sepeda. Bahkan 20 tahun lalu, 80 persen warga ibukota Tiongkok ini beraktivitas menggunakan sepeda. Kini, setelah perekonomian Tiongkok maju pesat, pengguna sepeda memang berkurang. Sebaliknya, pengguna mobil meningkat pesat. Meski demikian, sepeda sebagai alat transportasi tidak ditinggalkan. Jalanan kota yang lebar masih menyisakan lajur khusus bagi pengguna sepeda.

Warga bisa melaju di tepi jalan tanpa harus berebut jalan dengan pengendara mobil. Pengguna sepeda bisa pula melaju di trotoar dengan tenang. Maklum, trotoar di sana bersih dari pedagang asongan atau kaki lima. Jalur sepeda ini sekaligus untuk motor, tetapi jarang sekali warga Beijing yang mengendarai sepeda motor. Mereka lebih suka bersepeda ketimbang naik motor. ’’Sepeda motor tidak dilarang di sini. Tetapi warga jarang naik motor karena mereka lebih suka bersepeda,’’ kata Sie Tjoen, seorang petugas hotel. Berbeda dengan kebiasaan warga Jakarta yang lebih suka mengendarai sepeda motor. Akibatnya, motor menguasai jalanan ibu kota. Memang ada banyak alasan logis yang mendorong warga Jakarta memilih sepeda motor. Di antara alasan itu adalah kemacetan yang parah. Sepeda motor cenderung lebih tangkas menembus kemacetan. Belakangan ini, kesadaran warga Jakarta untuk bersepeda memang meningkat seiring kampanye bike to work. Tetapi mengayuh sepeda di jalanan Jakarta yang semrawut terasa berbahaya. Tanpa lajur khusus, pengguna sepeda harus berebut jalan dengan mobil dan sepeda motor yang sering ugal-ugalan. Tak heran kini banyak komunitas Jakarta yang doyan menggenjot sepeda tengah malam hingga dini hari. Mereka yang hobi sepeda juga getol mencari trek yang jauh dari kerumitan lalu lintas jalan raya.

Sebaliknya di Beijing, bersepeda sudah menjadi kebiasaan sejak dulu. Setiap hari jalur sepeda ramai dilalui. Sepeda digunakan pergi ke kantor, pasar, antar jemput anak sekolah, hingga berjualan. Wabah sepeda juga ternyata menjangkiti para diplomat Indonesia. ’’Saya berangkat ke kantor menggunakan sepeda, sekitar 15 menit perjalanan,’’ kata Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok, Imron Cotan. Sepeda paling banyak digunakan warga Beijing adalah sepeda jengki dan sepeda mini atau jenis sepeda city bike. Kebanyakan tampangnya sudah jelek dan terlihat uzur. Ada pula yang memakai sepeda listrik, bentuknya seperti city bike tapi ada mesin tenaga listrik yang siap memperingan laju sepeda. Lalu ada sepeda roda tiga yang bagian belakangnya adalah gerobak atau bak angkut. Dari tampangnya jelas ini sepeda digunakan mengangkut barang. Sepeda bagus dan mahal jarang terlihat. Sama jarangnya dengan pengayuh sepeda yang menggunakan helm. Dalam sehari, hanya sesekali melintas sepeda gunung yang bagus dikendarai orang berjas dan helm lengkap.

Sepertinya itulah eksekutif yang pulang-pergi kerja menggunakan sepeda. Kebijakan pembangunan di Beijing memang sangat berpihak pada pengguna sepeda. Bahkan, pemerintah kota itu berniat terus menggenjot jumlah pengguna sepeda. Tujuannya mengurangi polusi udara serta potensi kekacauan lalu lintas akibat meningkatnya penggunaan mobil. Penggunaan mobil yang meningkat pesat beberapa tahun belakangan telah menggerus jumlah pengguna sepeda secara signifikan. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang kencang memiliki korelasi positif dengan peningkatan perekonomian warga Beijing, ditambah harga mobil di sana terbilang murah. Harga mobil buatan Jepang bisa lebih murah 25 persen dibanding harga di Jakarta. ’’Hanya di sini saya pernah menemui showroom sampai kehabisan mobil,’’ kata Anwar Luqman Hakim, diplomat Indonesia di Beijing. (indopos)
Bersepeda ke Kantor, Antar Sekolah, hingga Berjualan
Beijing dikenal sebagai kota sepeda. Meski kini ibu kota Tiongkok itu digempur mobil murah, warganya tidak meninggalkan kebiasaan bersepeda. Pemerintahnya pun punya kebijakan yang ramah bagi para pesepeda. HENDRIYANTO, Beijing

Sudah lewat tengah hari tapi matahari tak juga menampakkan diri di langit kota Beijing. Bangunan pencakar langit yang berderet di kiri-kanan jalan berselubung kabut asap. Ibukota Tiongkok itu memang termasuk kota dengan polusi udara terburuk di dunia. Polusi yang parah tersebut tidak hanya disumbang asap knalpot mobil yang jumlahnya jutaan dan terus bertambah, tapi juga dari pusat pembangkit listrik batu bara, pengolahan baja, industri dan pabrik-pabrik.

Itulah mesin penggerak ekonomi Tiongkok hingga maju pesat, sekaligus penyumbang polusi terbesar. Saat INDOPOS berkunjung ke Kota Beijing peka kemarin, warga ibu kota itu mengayuh sepedanya di siang bolong tanpa helm dengan hanya memakai kaus dan celana pendek. Ya, Beijing memang dikenal sebagai kota sepeda. Bahkan 20 tahun lalu, 80 persen warga ibukota Tiongkok ini beraktivitas menggunakan sepeda. Kini, setelah perekonomian Tiongkok maju pesat, pengguna sepeda memang berkurang. Sebaliknya, pengguna mobil meningkat pesat. Meski demikian, sepeda sebagai alat transportasi tidak ditinggalkan. Jalanan kota yang lebar masih menyisakan lajur khusus bagi pengguna sepeda.

Warga bisa melaju di tepi jalan tanpa harus berebut jalan dengan pengendara mobil. Pengguna sepeda bisa pula melaju di trotoar dengan tenang. Maklum, trotoar di sana bersih dari pedagang asongan atau kaki lima. Jalur sepeda ini sekaligus untuk motor, tetapi jarang sekali warga Beijing yang mengendarai sepeda motor. Mereka lebih suka bersepeda ketimbang naik motor. ’’Sepeda motor tidak dilarang di sini. Tetapi warga jarang naik motor karena mereka lebih suka bersepeda,’’ kata Sie Tjoen, seorang petugas hotel. Berbeda dengan kebiasaan warga Jakarta yang lebih suka mengendarai sepeda motor. Akibatnya, motor menguasai jalanan ibu kota. Memang ada banyak alasan logis yang mendorong warga Jakarta memilih sepeda motor. Di antara alasan itu adalah kemacetan yang parah. Sepeda motor cenderung lebih tangkas menembus kemacetan. Belakangan ini, kesadaran warga Jakarta untuk bersepeda memang meningkat seiring kampanye bike to work. Tetapi mengayuh sepeda di jalanan Jakarta yang semrawut terasa berbahaya. Tanpa lajur khusus, pengguna sepeda harus berebut jalan dengan mobil dan sepeda motor yang sering ugal-ugalan. Tak heran kini banyak komunitas Jakarta yang doyan menggenjot sepeda tengah malam hingga dini hari. Mereka yang hobi sepeda juga getol mencari trek yang jauh dari kerumitan lalu lintas jalan raya.

Sebaliknya di Beijing, bersepeda sudah menjadi kebiasaan sejak dulu. Setiap hari jalur sepeda ramai dilalui. Sepeda digunakan pergi ke kantor, pasar, antar jemput anak sekolah, hingga berjualan. Wabah sepeda juga ternyata menjangkiti para diplomat Indonesia. ’’Saya berangkat ke kantor menggunakan sepeda, sekitar 15 menit perjalanan,’’ kata Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok, Imron Cotan. Sepeda paling banyak digunakan warga Beijing adalah sepeda jengki dan sepeda mini atau jenis sepeda city bike. Kebanyakan tampangnya sudah jelek dan terlihat uzur. Ada pula yang memakai sepeda listrik, bentuknya seperti city bike tapi ada mesin tenaga listrik yang siap memperingan laju sepeda. Lalu ada sepeda roda tiga yang bagian belakangnya adalah gerobak atau bak angkut. Dari tampangnya jelas ini sepeda digunakan mengangkut barang. Sepeda bagus dan mahal jarang terlihat. Sama jarangnya dengan pengayuh sepeda yang menggunakan helm. Dalam sehari, hanya sesekali melintas sepeda gunung yang bagus dikendarai orang berjas dan helm lengkap.

Sepertinya itulah eksekutif yang pulang-pergi kerja menggunakan sepeda. Kebijakan pembangunan di Beijing memang sangat berpihak pada pengguna sepeda. Bahkan, pemerintah kota itu berniat terus menggenjot jumlah pengguna sepeda. Tujuannya mengurangi polusi udara serta potensi kekacauan lalu lintas akibat meningkatnya penggunaan mobil. Penggunaan mobil yang meningkat pesat beberapa tahun belakangan telah menggerus jumlah pengguna sepeda secara signifikan. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang kencang memiliki korelasi positif dengan peningkatan perekonomian warga Beijing, ditambah harga mobil di sana terbilang murah. Harga mobil buatan Jepang bisa lebih murah 25 persen dibanding harga di Jakarta. ’’Hanya di sini saya pernah menemui showroom sampai kehabisan mobil,’’ kata Anwar Luqman Hakim, diplomat Indonesia di Beijing. (indopos)
thumbnail
Judul: Kota Sepeda di Tengah Gempuran Mobil Murah
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh

Artikel Terkait Otomotif, Umum :

0 comments:

Posting Komentar

 
Copyright © 2013. About - Sitemap - Contact - Privacy
Template Seo Elite oleh Bamz