Jumat, 15 Juli 2011

Jika ingin membuat Mobil Murah, belajarlah dari India dan Cina

Sekitar 13 tahun lalu, industri otomotif Indonesia dikejutkan oleh kehadiran mobil yang sangat kontroversial. Namanya Timor. Mobil sedan yang diimpor secara utuh (CBU/completely built up) dari pabrik Kia Motor di Korea Selatan (Korsel) tersebut masuk ke Indonesia tanpa dikenai bea masuk dan pajak-pajak lainnya.

Akibatnya, mobil tersebut bisa dijual dengan harga sangat murah, hanya Rp35 juta per unit on the road (OTR). Padahal, harga mobil sejenis saat itu mencapai dua kali lipatnya, sekitar Rp70 juta-an per unit. Serta-merta harga mobil lainnya juga turut terkoreksi untuk mengimbangi serbuan mobil murah tersebut.

Kehadiran Timor tentu saja menguntungkan masyarakat karena dapat membeli mobil murah, tetapi sebaliknya membuat geram kalangan ATPM (agen tunggal pemegang merek).

Namun masa ‘bulan madu’ masyarakat dalam menikmati mobil murah tidak berlangsung lama, menyusul kekalahan Indonesia di panel WTO (organisasi perdagangan dunia) menghadapi sejumlah produsen otomotif dunia yang menggugat program Mobnas (Mobil Nasional) yang mengusung mobil murah Timor tadi.

Awal 2004, masyarakat di Tanah Air kembali disuguhkan oleh kehadiran mobil kembar murah, Daihatsu Xenia dan Toyota Avanza. Kendaraan serbaguna hasil kolaborasi Daihatsu dan Toyota ini dibanderol dengan harga termurah Rp60 juta-an per unit. Kedua mobil ini laku keras bak kacang goreng.

Namun, seiring dengan derasnya permintaan, harga Xenia dan Avanza secara perlahan tapi pasti merangkak naik hingga akhirnya kini menembus Rp100 juta dan pada akhirnya kedua mobil tersebut sudah tidak bisa dibilang murah lagi.

Kini, pada saat pasar otomotif nasional sedang lesu akibat terkena dampak krisis finansial global dan merosotnya daya beli, kalangan ATPM dan masyarakat kembali merindukan kehadiran mobil-mobil murah.

Seperti biasanya, pemerintah coba merespons keinginan tersebut dengan membuka wacana berupa pemberian insentif mulai dari wacana memangkas pajak penjualan barang mewah (PpnBM), menurunkan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama (BBN KB), hingga perubahan nilai jual kendaraan bermotor (NJKB).

Namun seperti biasanya pula, wacana tinggal wacana. Pertarungan antara keinginan menggairahkan industri otomotif nasional dan kekhawatiran pemerintah kehilangan pendapatan dari pajak otomotif menjadi batu sandungan.

Pelaku dan pemerintah

Tampaknya tidak ada salahnya Indonesia belajar dari keberhasilan Chindia (singkatan dari China dan India) dalam mengembangkan mobil murah. China dimotori oleh pemerintahnya, sedangkan India diprakarsai oleh pelaku otomotifnya, yakni Tata Motors.

Untuk menggairahkan pasar otomotif domestik, pemerintah China telah memangkas pajak kendaraan di bawah 1.600 cc menjadi hanya 5%. Harga mobil pun menjadi murah. Bahkan, kini petani pun bisa memiliki mobil. Sebab, pemerintah telah menganggarkan 5 miliar yuan (sekitar US$730 juta) untuk menyubsidi petani dalam membeli mobil bermesin 1.300 cc sebagai pengganti kendaraan roda tiga dan truk yang sudah usang.

Ini dilakukan selain untuk mengampanyekan penggunaan mobil hemat energi, juga untuk mengembangkan teknologi otomotif. Sedikitnya 10 miliar yuan atau sekitar US$1,5 miliar mulai dikucurkan Pemerintah China dalam rangka meningkatkan teknologi otomotif dan mengembangkan energi alternatif untuk kendaraan bermotor. Dengan kebijakan seperti ini, masyarakat China akan semakin tertarik membeli mobil.

Di India lain lagi ceritanya. Yang lebih berperan justru pelaku otomotifnya. Adalah Tata Motors yang berhasil memproduksi Nano, mobil termurah di dunia, yang dipatok hanya seharga 100.000 rupee (US$2.050), yang jika dirupiahkan sekitar Rp24 juta per unit.

Jika masuk ke Indonesia, mobil ini-setelah ditambah bea masuk dan segala tetek bengek pajak, harganya menjadi sekitar Rp50-an juta.

Mengapa Nano bisa dihargai begitu murah? Ternyata kiatnya sederhana: kendaraan itu diproduksi dalam keadaan sangat standar, baik bahan baku, aksesori, ataupun spesifikasi teknisnya.

Mobil mini ini panjangnya hanya 3,1 meter dan mengusung mesin 623 cc dan hanya menggunakan satu batang wiper depan. Nano juga tidak dilengkapi dengan airbags, antilock brake, AC, radio, dan power steering. Pokoknya, semua serba standar. Namun, konsumen bisa saja melengkapi Nano dengan aksesori dan komponen di atas, dengan merogoh kocek tambahan tentunya.

Tata Motors dengan tegas menyatakan bahwa mobil yang akan dibuat bukanlah mobil dengan jendela plastik atau tanpa atap. “Mobil ini adalah mobil sungguhan,” demikian penegasan Tata Motors.

Mengapa Tata mau memproduksi mobil paling murah di dunia? Ternyata bukan cuma untuk menggenjot angka penjualan, melainkan ada alasan lain yang lebih manusiawi, yakni sebagai pengganti sepeda motor yang dinilai lebih berisiko di jalan raya.

Chairman Tata Motors, Ratan N. Tata, mengaku pernah gundah ketika melihat satu keluarga (terdiri dari sang ayah atau kepala keluarga, istri, dan tiga anaknya yang masih kecil) melaju dengan sepeda motor di jalan raya.

Dengan lima orang di atas sepeda motor, tentu saja sangat berisiko. Peristiwa itulah yang mengilhami Ratan untuk memproduksi mobil murah.

Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah dan pelaku otomotif di Tanah Air tentunya bisa melakukan hal seperti yang telah dikerjakan pemerintah China dan Tata Motors, India. Yang penting ada kemauan. Sumber : afriyanto@bisnis.co.id
Sekitar 13 tahun lalu, industri otomotif Indonesia dikejutkan oleh kehadiran mobil yang sangat kontroversial. Namanya Timor. Mobil sedan yang diimpor secara utuh (CBU/completely built up) dari pabrik Kia Motor di Korea Selatan (Korsel) tersebut masuk ke Indonesia tanpa dikenai bea masuk dan pajak-pajak lainnya.

Akibatnya, mobil tersebut bisa dijual dengan harga sangat murah, hanya Rp35 juta per unit on the road (OTR). Padahal, harga mobil sejenis saat itu mencapai dua kali lipatnya, sekitar Rp70 juta-an per unit. Serta-merta harga mobil lainnya juga turut terkoreksi untuk mengimbangi serbuan mobil murah tersebut.

Kehadiran Timor tentu saja menguntungkan masyarakat karena dapat membeli mobil murah, tetapi sebaliknya membuat geram kalangan ATPM (agen tunggal pemegang merek).

Namun masa ‘bulan madu’ masyarakat dalam menikmati mobil murah tidak berlangsung lama, menyusul kekalahan Indonesia di panel WTO (organisasi perdagangan dunia) menghadapi sejumlah produsen otomotif dunia yang menggugat program Mobnas (Mobil Nasional) yang mengusung mobil murah Timor tadi.

Awal 2004, masyarakat di Tanah Air kembali disuguhkan oleh kehadiran mobil kembar murah, Daihatsu Xenia dan Toyota Avanza. Kendaraan serbaguna hasil kolaborasi Daihatsu dan Toyota ini dibanderol dengan harga termurah Rp60 juta-an per unit. Kedua mobil ini laku keras bak kacang goreng.

Namun, seiring dengan derasnya permintaan, harga Xenia dan Avanza secara perlahan tapi pasti merangkak naik hingga akhirnya kini menembus Rp100 juta dan pada akhirnya kedua mobil tersebut sudah tidak bisa dibilang murah lagi.

Kini, pada saat pasar otomotif nasional sedang lesu akibat terkena dampak krisis finansial global dan merosotnya daya beli, kalangan ATPM dan masyarakat kembali merindukan kehadiran mobil-mobil murah.

Seperti biasanya, pemerintah coba merespons keinginan tersebut dengan membuka wacana berupa pemberian insentif mulai dari wacana memangkas pajak penjualan barang mewah (PpnBM), menurunkan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama (BBN KB), hingga perubahan nilai jual kendaraan bermotor (NJKB).

Namun seperti biasanya pula, wacana tinggal wacana. Pertarungan antara keinginan menggairahkan industri otomotif nasional dan kekhawatiran pemerintah kehilangan pendapatan dari pajak otomotif menjadi batu sandungan.

Pelaku dan pemerintah

Tampaknya tidak ada salahnya Indonesia belajar dari keberhasilan Chindia (singkatan dari China dan India) dalam mengembangkan mobil murah. China dimotori oleh pemerintahnya, sedangkan India diprakarsai oleh pelaku otomotifnya, yakni Tata Motors.

Untuk menggairahkan pasar otomotif domestik, pemerintah China telah memangkas pajak kendaraan di bawah 1.600 cc menjadi hanya 5%. Harga mobil pun menjadi murah. Bahkan, kini petani pun bisa memiliki mobil. Sebab, pemerintah telah menganggarkan 5 miliar yuan (sekitar US$730 juta) untuk menyubsidi petani dalam membeli mobil bermesin 1.300 cc sebagai pengganti kendaraan roda tiga dan truk yang sudah usang.

Ini dilakukan selain untuk mengampanyekan penggunaan mobil hemat energi, juga untuk mengembangkan teknologi otomotif. Sedikitnya 10 miliar yuan atau sekitar US$1,5 miliar mulai dikucurkan Pemerintah China dalam rangka meningkatkan teknologi otomotif dan mengembangkan energi alternatif untuk kendaraan bermotor. Dengan kebijakan seperti ini, masyarakat China akan semakin tertarik membeli mobil.

Di India lain lagi ceritanya. Yang lebih berperan justru pelaku otomotifnya. Adalah Tata Motors yang berhasil memproduksi Nano, mobil termurah di dunia, yang dipatok hanya seharga 100.000 rupee (US$2.050), yang jika dirupiahkan sekitar Rp24 juta per unit.

Jika masuk ke Indonesia, mobil ini-setelah ditambah bea masuk dan segala tetek bengek pajak, harganya menjadi sekitar Rp50-an juta.

Mengapa Nano bisa dihargai begitu murah? Ternyata kiatnya sederhana: kendaraan itu diproduksi dalam keadaan sangat standar, baik bahan baku, aksesori, ataupun spesifikasi teknisnya.

Mobil mini ini panjangnya hanya 3,1 meter dan mengusung mesin 623 cc dan hanya menggunakan satu batang wiper depan. Nano juga tidak dilengkapi dengan airbags, antilock brake, AC, radio, dan power steering. Pokoknya, semua serba standar. Namun, konsumen bisa saja melengkapi Nano dengan aksesori dan komponen di atas, dengan merogoh kocek tambahan tentunya.

Tata Motors dengan tegas menyatakan bahwa mobil yang akan dibuat bukanlah mobil dengan jendela plastik atau tanpa atap. “Mobil ini adalah mobil sungguhan,” demikian penegasan Tata Motors.

Mengapa Tata mau memproduksi mobil paling murah di dunia? Ternyata bukan cuma untuk menggenjot angka penjualan, melainkan ada alasan lain yang lebih manusiawi, yakni sebagai pengganti sepeda motor yang dinilai lebih berisiko di jalan raya.

Chairman Tata Motors, Ratan N. Tata, mengaku pernah gundah ketika melihat satu keluarga (terdiri dari sang ayah atau kepala keluarga, istri, dan tiga anaknya yang masih kecil) melaju dengan sepeda motor di jalan raya.

Dengan lima orang di atas sepeda motor, tentu saja sangat berisiko. Peristiwa itulah yang mengilhami Ratan untuk memproduksi mobil murah.

Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah dan pelaku otomotif di Tanah Air tentunya bisa melakukan hal seperti yang telah dikerjakan pemerintah China dan Tata Motors, India. Yang penting ada kemauan. Sumber : afriyanto@bisnis.co.id
thumbnail
Judul: Jika ingin membuat Mobil Murah, belajarlah dari India dan Cina
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh

Artikel Terkait Otomotif :

0 comments:

Posting Komentar

 
Copyright © 2013. About - Sitemap - Contact - Privacy
Template Seo Elite oleh Bamz