Sadar atau tidak, pemerintah terlalu pihak pada angkutan pribadi, bukan pada angkutan umum massal. Pada konteks ini, kita melihat bahwa visi pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment masih sekadar slogan. Semakin banyak mobil pribadi di jalan raya, roda pembangunan semakin lambat bergulir. Distribusi barang terhambat. Rakyat jelata dan kaum miskin semakin terpinggirkan. Polusi udara mengganas. Lingkungan hidup memburuk.
Jika selaras dengan visi besarnya —pro-growth, pro-job, pro-poor, dan proenvironment--,mestinya angkutan umum massal yang diprioritaskan, bukan kendaraan pribadi. Kontroversi boleh-tidaknya truk angkutan barang masuk tol Jakarta pada pukul 05.00 hingga 22.00 WIB merupakan salah satu dampak buruk dari keberpihakan pemerintah terhadap angkutan pribadi.
Pembatasan itu membuat lalu lintas sepanjang Tol Cawang-Tomang cukup lancar. Pengguna angkutan pribadi senang bukan kepalang. Tapi, jika kebijakan ini diberlakukan lebih dari sebulan, distribusi barang akan terganggu. Biaya distribusi membengkak. Angkutan barang akan rawan perampokan.
Siang hari saja sopir truk sering dirampok, bagaimana bila malam hari. Untuk mengamankan angkutan malam, perusahaan tentu harus mengeluarkan biaya ekstra. Ekspansi perusahaan akan terhambat, penyerapan tenaga kerja baru, bahkan bisa jadi pekerja yang ada harus dikurangi. Namun, bila truk angkutan barang kembali dibolehkan masuk tol dalam kota pada jam kerja, kemacetan akan kembali meningkat.
Kerugian yang disebabkan oleh kemacetan lalu lintas di Jakarta diperkirakan lebih dari Rp 50 triliun setahun. Tapi, apakah kemacetan ini akibat truk barang yang masuk tol dalam kota? Sama sekali bukan. Biang kerok dari kemacetan lalu lintas adalah melonjaknya jumlah angkutan pribadi dan infrastruktur jalan yang tidak menunjang. Truk angkutan barang hanyalah korban.
Untuk mengurangi kemacetan dan melancarkan distribusi barang, sejumlah langkah berani perlu diambil pemerintah. Pertama, naikkan pajak kendaraan pribadi dan terapkan pajak progresif untuk mobil kedua, ketiga, dan seterusnya. Sebagian pajak digunakan untuk menyubsidi angkutan umum. Mobil pribadi murah tidak diperkenankan di kota besar. Batas tertinggi mobil murah silakan ditentukan sesuai daya beli rakyat.
Kedua, pemerintah membangun sistem angkutan umum massal dengan kereta api sebagai moda transportasi utama. Untuk kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan, mass rapit transit (MRT) sudah menjadi keharusan. Pendanaan ditanggung pemerintah. Jika pemerintah tidak cukup dana, pola public private partnership bisa diterapkan. Masyarakat miskin diberikan subsidi tarif MRT.
Selain MRT, bus bisa menjadi alternatif dengan catatan kota-kota besar lainnya tidak perlu meniru busway Jakarta. Busway akan efektif jika jalurnya menjangkau permukiman penduduk, tidak menggantung seperti sekarang. Busway tidak cukup dibangun dari Grogol ke Cawang, tapi harus diperpanjang hingga Bekasi dan Tangerang, dari Kota-Mangga Dua- Tanjung Priok hingga Bogor.
Ketiga, industri otomotif di dalam negeri diwajibkan memproduksi bus dengan kualitas bagus. Para pengusaha pada dasarnya tidak berkeberatan untuk memproduksi bus bagi angkutan umum. Mereka tinggal menunggu kebijakan pemerintah. Tanpa kebijakan yang tegas, wajar saja jika industri otomotif lebih memilih memproduksi mobil dan sepeda motor guna mengejar keuntungan.
Saat ini, kita menyaksikan betapa buruk dan joroknya bus dan metromini yang beredar di Jakarta. Pemerintah seperti menutup mata atau tidak mau tahu akan keberadaan angkutan umum yang jauh dari aman dan nyaman itu. Selama kondisi angkutan umum kita jorok, tidak aman, dan tidak nyaman, masyarakat akan berusaha memiliki kendaraan pribadi, meski kendaraan bekas dan si pemilik tidak punya garasi atau ruang untuk memarkir mobil.
Keempat, penggunaan sepeda motor dibatasi di jalan utama. Jika ada alternatif, yakni angkutan umum yang aman, nyaman, dan harga terjangkau, masyarakat bawah takkan mau menyabung nyawa dengan menggunakan sepeda motor di jalanan. Tiada hari tanpa kecelakaan maut sepeda motor di Jakarta.
Kelima, saatnya pemerintah membangun jalur khusus untuk angkutan barang antarkota dan dari kawasan industri ke pelabuhan. Ada jalur kereta api khusus dan juga jalur truk khusus. Kita membayangkan jalur kereta barang double track dari Merak ke Banyuwangi. Begitu pula jalur kereta barang trans-Sumatera, trans- Kalimantan, trans-Sulawesi, dan suatu waktu trans-Papua. Tidak ada yang tidak mungkin jika kita sejak saat ini menancapkan tekad dan membuat rencana aksi yang jelas dan tegas.
Saatnya, pemerintah menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat umum dengan membangun transportasi umum massal dan jalur khusus angkutan barang. Hanya dengan mengimplementasi kebijakan ini, pemerintah benar-benar dinilai prorakyat dan tidak sekadar memihak kepentingan industri mobil yang doyan memproduksi kendaraan pribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar. *** investor daily
Sadar atau tidak, pemerintah terlalu pihak pada angkutan pribadi, bukan pada angkutan umum massal. Pada konteks ini, kita melihat bahwa visi pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment masih sekadar slogan. Semakin banyak mobil pribadi di jalan raya, roda pembangunan semakin lambat bergulir. Distribusi barang terhambat. Rakyat jelata dan kaum miskin semakin terpinggirkan. Polusi udara mengganas. Lingkungan hidup memburuk.
Jika selaras dengan visi besarnya —pro-growth, pro-job, pro-poor, dan proenvironment--,mestinya angkutan umum massal yang diprioritaskan, bukan kendaraan pribadi. Kontroversi boleh-tidaknya truk angkutan barang masuk tol Jakarta pada pukul 05.00 hingga 22.00 WIB merupakan salah satu dampak buruk dari keberpihakan pemerintah terhadap angkutan pribadi.
Pembatasan itu membuat lalu lintas sepanjang Tol Cawang-Tomang cukup lancar. Pengguna angkutan pribadi senang bukan kepalang. Tapi, jika kebijakan ini diberlakukan lebih dari sebulan, distribusi barang akan terganggu. Biaya distribusi membengkak. Angkutan barang akan rawan perampokan.
Siang hari saja sopir truk sering dirampok, bagaimana bila malam hari. Untuk mengamankan angkutan malam, perusahaan tentu harus mengeluarkan biaya ekstra. Ekspansi perusahaan akan terhambat, penyerapan tenaga kerja baru, bahkan bisa jadi pekerja yang ada harus dikurangi. Namun, bila truk angkutan barang kembali dibolehkan masuk tol dalam kota pada jam kerja, kemacetan akan kembali meningkat.
Kerugian yang disebabkan oleh kemacetan lalu lintas di Jakarta diperkirakan lebih dari Rp 50 triliun setahun. Tapi, apakah kemacetan ini akibat truk barang yang masuk tol dalam kota? Sama sekali bukan. Biang kerok dari kemacetan lalu lintas adalah melonjaknya jumlah angkutan pribadi dan infrastruktur jalan yang tidak menunjang. Truk angkutan barang hanyalah korban.
Untuk mengurangi kemacetan dan melancarkan distribusi barang, sejumlah langkah berani perlu diambil pemerintah. Pertama, naikkan pajak kendaraan pribadi dan terapkan pajak progresif untuk mobil kedua, ketiga, dan seterusnya. Sebagian pajak digunakan untuk menyubsidi angkutan umum. Mobil pribadi murah tidak diperkenankan di kota besar. Batas tertinggi mobil murah silakan ditentukan sesuai daya beli rakyat.
Kedua, pemerintah membangun sistem angkutan umum massal dengan kereta api sebagai moda transportasi utama. Untuk kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan, mass rapit transit (MRT) sudah menjadi keharusan. Pendanaan ditanggung pemerintah. Jika pemerintah tidak cukup dana, pola public private partnership bisa diterapkan. Masyarakat miskin diberikan subsidi tarif MRT.
Selain MRT, bus bisa menjadi alternatif dengan catatan kota-kota besar lainnya tidak perlu meniru busway Jakarta. Busway akan efektif jika jalurnya menjangkau permukiman penduduk, tidak menggantung seperti sekarang. Busway tidak cukup dibangun dari Grogol ke Cawang, tapi harus diperpanjang hingga Bekasi dan Tangerang, dari Kota-Mangga Dua- Tanjung Priok hingga Bogor.
Ketiga, industri otomotif di dalam negeri diwajibkan memproduksi bus dengan kualitas bagus. Para pengusaha pada dasarnya tidak berkeberatan untuk memproduksi bus bagi angkutan umum. Mereka tinggal menunggu kebijakan pemerintah. Tanpa kebijakan yang tegas, wajar saja jika industri otomotif lebih memilih memproduksi mobil dan sepeda motor guna mengejar keuntungan.
Saat ini, kita menyaksikan betapa buruk dan joroknya bus dan metromini yang beredar di Jakarta. Pemerintah seperti menutup mata atau tidak mau tahu akan keberadaan angkutan umum yang jauh dari aman dan nyaman itu. Selama kondisi angkutan umum kita jorok, tidak aman, dan tidak nyaman, masyarakat akan berusaha memiliki kendaraan pribadi, meski kendaraan bekas dan si pemilik tidak punya garasi atau ruang untuk memarkir mobil.
Keempat, penggunaan sepeda motor dibatasi di jalan utama. Jika ada alternatif, yakni angkutan umum yang aman, nyaman, dan harga terjangkau, masyarakat bawah takkan mau menyabung nyawa dengan menggunakan sepeda motor di jalanan. Tiada hari tanpa kecelakaan maut sepeda motor di Jakarta.
Kelima, saatnya pemerintah membangun jalur khusus untuk angkutan barang antarkota dan dari kawasan industri ke pelabuhan. Ada jalur kereta api khusus dan juga jalur truk khusus. Kita membayangkan jalur kereta barang double track dari Merak ke Banyuwangi. Begitu pula jalur kereta barang trans-Sumatera, trans- Kalimantan, trans-Sulawesi, dan suatu waktu trans-Papua. Tidak ada yang tidak mungkin jika kita sejak saat ini menancapkan tekad dan membuat rencana aksi yang jelas dan tegas.
Saatnya, pemerintah menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat umum dengan membangun transportasi umum massal dan jalur khusus angkutan barang. Hanya dengan mengimplementasi kebijakan ini, pemerintah benar-benar dinilai prorakyat dan tidak sekadar memihak kepentingan industri mobil yang doyan memproduksi kendaraan pribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar. *** investor daily
Judul: Pemerintah Berpihak pada Angkutan Pribadi
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Jumat, Juli 15, 2011
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Jumat, Juli 15, 2011
0 comments:
Posting Komentar