Selasa, 06 Desember 2011

Mobil Nasional Berharga Murah Masih Sebatas Impian

PASAR otomotif di Indonesia masih sangat besar dan menjadi incaran negara lain seperti Jepang, Korea, Amerika, India, dan China. Lantas kapan Indonesia mempunyai mobil nasional (mobnas) dengan harga murah? Mobil nasional merek sendiri memang masih sebatas cita-cita lama yang terpendam, bahkan masih sebatas impian. 

Sejak 1970, industri otomotif nasional belum berhasil menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan hanya terbatas sebagai perakit. Pengamat otomotif Suhari Sargo kepada Pelita di Jakarta, Minggu (20/3), mengatakan, tidak mungkin membuat industri sendiri tanpa melibatkan perusahaan pendukung. Apalagi untuk membuat mobil nasional membutuhkan investasi dengan dana yang besar. Perusahaan-perusahaan komponen nasional juga belum mandiri, masih tergantung pada Jepang. Karena sebagian komponen mobil masih diimpor dari Jepang. Karenanya, untuk membuat komponen lebih dulu, Indonesia harus menguasai teknologi dan arus suplainya seperti bahan baku dan pendukung lainnya. Semua itu, melibatkan industri lain di luar otomotif seperti alumunium dan baja. Suhari menjelaskan, komponen mobil membutuhkan bahan baku dari alumunium. Indonesia belum punya industri alumunium. 

Begitu pula dengan baja pelat untuk bodi mobil. Indonesia belum memiliki industri yang bisa membuat pelat bodi mobil. PT Krakatau Steel Tbk juga belum mampu membuat pelat khusus untuk mobil. Indonesia baru baru bisa membuat komponen mobil dari plastik dan kaca. 

Baut dan velg memang dibuat di dalam negeri, tapi bahan bakunya masih diimpor. Yang realistis saat ini adalah mengembangkan perusahaan otomotif yang sudah ada. Seperti perusahaan yang selama ini menjual mobil atau sebagai agen tunggal pemegang merek (ATPM) dari Toyota, Suzuki, Mitsubhisi, Nissan, Daihatsu, tuturnya. Artinya, kata Suhari, kalau memang dari kelima merek mobil tersebut ada keinginan untuk bersatu memproduksi mobil nasional, itu akan lebih baik. 

Pemerintah hanya mendukung dan mendorongnya dengan kebijakan insentif berupa pajak. Soalnya, biaya membuat mobil terbesar disedot oleh pajak. Ia juga mengemukakan, produsen Jepang hanya mengincar pasar sehingga berpeluang menempatkan industrinya di Indonesia, seperti yang sudah terjadi di Thailand. Jika volumenya cukup besar dan industri pendukungnya berkembang, Indonesia bukan hanya sebagai perakit, tapi secara total dapat menjadi produksi otomotif Indonesia meskipun merek masih Jepang, ungkapnya. 

Soal merek Jepang, Suhari tidak mempermasalahkannya. Hal itu menurutnya hanya soal pengenalan pasar. Di tengah perdagangan bebas, Indonesia bisa menjadi basis produksi otomotif sehingga bisa mengekspor otomotif ke negara manapun meskipun dengan merek Jepang. 

Sejak lima tahun terakhir, Indonesia sudah mengekspor sekitar 100.000 unit otomotif per tahun dengan berbagai merek seperti Toyota, Suzuki, Daihatsu, dan lainnya, ungkap Suhari. Pengalaman Mobil Timor Pengamat ekonomi David Sumual menambahkan, sebenarnya import content komponen otomotif semakin berkurang. Hanya saja dipastikan Indonesia harus mengeluarkan energi lebih banyak. 

Indonesia mempunyai pengalaman dengan mobil nasional dengan nama Timor. Memang Timor tidak sepenuhnya milik kita, melainkan kerjasama dengan KIA Korea yang kemudian dimodifikasi. Menurutnya, untuk punya merek sendiri, Indonesia harus memiliki industri spare part (suku cadang) yang tangguh seperti Toyota, Daihatsu, dan Honda di Jepang, yang memiliki puluhan ribu usaha kecil menengah (UKM) penunjang mulai dari velg hingga gear. Karena itu, industri otomotif Jepang sangat kuat. Kita harus siap membina industri seperti itu, ujarnya. Indonesia sebenarnya sudah memiliki banyak subkontrak, sebagai salah satu bentuk desentralisasi produksi. Bahkan, sekitar 60 persen komponen otomotif sudah diproduksi secara lokal. Selebihnya murni impor. 

Kalau Indonesia punya merek tertentu, tinggal dialihkan ke merek sendiri. Melihat pengalaman pada mobil nasional Timor yang menggunakan teknologi KIA sepenuhnya, dinilai David sudah tepat. Sebab, Korea pun pada mulanya membangun industri otomotif dengan menggunakan teknologi Jepang. Setelah mampu, Korea mengembangkannya sendiri. Karena itu, jika Indonesia ingin bermitra dengan PT Astra International Tbk, sebenarnya bisa membuat mobil nasional. Tinggal masalah pemasaran produknya saja. Seperti Avanza dan Xenia, sebenarnya produk yang sama. Tapi, Avanza bisa dijual lebih mahal. Itu hanya masalah persepsi bahwa Toyota lebih bagus dari Daihatsu. Padahal, produknya persis sama, jelas David. Namun, ambisi untuk membuat mobil nasional dengan harga murah masih belum jelas. 

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengungkapkan, koordinasi antara pemerintah dan ATMP masih belum dibicarakan secara matang. Pihak Gaikindo pernah dipanggil pemerintah untuk membuat skema untuk mobnas murah, tapi masih belum jelas seperti apa mobnas murah itu. Jika skema mobnas murah telah disepakati, maka kebijakan ini harus mengacu kepada kebijakan eco car (mobil ramah lingkungan) yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand, yaitu mobil murah bermesin kecil. 

Kebijakan yang tengah disusun ini misalnya Kementerian Perdagangan yang akan tetap menjaga dari serbuan produk luar negeri seperti India dan China, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan semakin mempermudah perizinan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjaga HAKI dan mengurangi pembiayaan yang tidak perlu. 

Pemerintah menargetkan produksi komersial mobil murah dan ramah lingkungan (low cost dan eco car) bisa berjalan di tahun 2011. Karenanya, pemerintah tengah mematangkan kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong industri otomotif sesuai Peraturan Presiden (Perpres) 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Pemerintah juga siap mengucurkan insentif fiskal bagi produsen mobil guna memuluskan rencana itu. Pemerintah hanya menyiapkan regulasi dan industri perlu intens untuk itu. Makanya perlu diberi insentif. Insentif yang paling mungkin diberikan pemerintah adalah pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP). 

Perlu pengusaha tangguh 

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) selaku pembina industri nasional berambisi menjadikan Indonesia sebagai basis produksi otomotif. Sesuai Kebijakan Industri Nasional sekaligus implementasi Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah, sektor industri alat transportasi menjadi salah satu prioritas. Sehingga harus memperkuat basis produksi, jangan hanya jadi pasar saja. 

Industri otomotif mampu menyerap tenaga kerja sampai 400.000 orang. Sementara itu, produksi kendaraan di tahun 2010 mencapai lebih dari 700.000 unit. Dengan demikian besarnya tingkat produksi industri otomotif, Indonesia bisa mengalahkan Thailand sebagai pasar otomotif terbesar di ASEAN. 

Dirjen Industri Ungulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT) Budi Darmadi kepada Pelita mengatakan, pihaknya akan terus mengenjot industri otomotif khususnya mobil. Hal ini untuk membantu basis produksi di dalam negeri, menciptakan lapanga kerja, meningkatkan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berbasis produksi internasional; dan itu sudah berhasil untuk beberapa merek seperti Hino dan Daihatsu yang saat ini terbesar di Indonesia. 

Semua iu bisa menciptakan lapangan kerja, meningkatkan ekonomi dengan beli bahan bakunya kan dari dalam negeri. Dari segi ekonomi mengunakan industi komponen, nah, industri komponen 1.000 bisa digerakkan menjadi industri komponen yang tumbuh, katanya. Budi mengatakan, sekarang ada beberapa merek nasional yang sudah ada di jalan, misalnya Nato, bahkan Busway yang ada di Jakarta bermerek AAI (Asian Agro Industri) yang berjenis komodo itu buatan Bogor mereknya Indonesia Asli, bahkan masih ada beberapa merek lain seperti, Inlen, Tawon, dan GEA. 

Saat ini lanjut Budi, ada beberapa industri nasional yang sudah muncul, namun itu semua perlu entrepreneur (pengusaha) yang tangguh karena, industri tersebut yang harus dibutuhkan adalah jaringan spare part, Kita juga mendukung, kita lebih banyak lagi basis produksi jadi merek banyak, merek luar dari basis kerjanya. Mereknya macam-macam nggak hanya satu merek, tapi kita mendukung kalau mau bikin mobil nasional, mendukung industrialisasi untuk pengusaha yang tangguh dalam memproduksi mobil nasional, tuturnya. 

Menurut Budi, sudah banyak yang dilakukan dalam industri otomotif ini, dari mulai biaya masuk, hingga bayar pajak. Merek lokal sudah banyak, tetapi belum ada pengusaha yang tangguh. Pemerintah, lebih konsentrasi dulu karena pajak belum final. Di Indonesia 40 merek sepeda motor, merek Indonesia sekitar 20-an namanya Daya dan Garuda. Mobil bermerek Nissan dahulu buatan Jepang dan sekarang sudah dibeli Rino dari Perancis. Volvo buatan Swedia sekarang sudah dibeli China, Industri otomotif itu sistemnya adalah global production mereknya juga harus mengglobal. 

Saat ini ekspor otomotif kita sekitar 80.000 unit lebih ke-70 negara salah satunya Malaysia dan Tailand, inikan masalah dagang, Proton dari Malaysia belum tentu bisa ekspor begitu banyak, tambahnya. Sementara Dirjen Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Gunaryo mengatakan, selain banga dengan produksi dalam negeri, pihaknya berharap mobil produksi buatan dalam negeri nantinya bisa dimanfaatkan untuk pendistribusian angkutan pedesaan di daerah. 

Hal ini tentu dapat menciptakan lapangan usaha di daerah. Selain bangga, seandainya Indonesia memiliki mobil nasional dimanfaatkan untuk angkutan angkutan perdesaan di daerah. Kemendag tinggal membantu pelaksaan pendistribusian dengan cepat. Kemendag dan Kemenperin belum ada pertemuan guna membahas industri mobil nasional ini, tetapi kalau nggak salah teman-teman Perindustrian sudah mempersiapkan. Kalau bisa produksi dari dalam dengan tenaga ahli dari kita juga, harapnya. 

Tata Nano dari India Pabrikan India, Tata Motors tengah melakukan feasibility study (studi kelayakan) untuk membuat pabrik mobil termurah sejagat Tata Nano di Jakarta. Sebelumnya, pabrikan ini akan membangun mobil Nano di Thailand, namun rencana itu ditangguhkan sementara. Tata Motors lebih memilih membuat Nano di Indonesia dibanding Thailand. Harga mobil itu sekitar Rp25 juta/unit. Pabrik yang diperkirakan akan mulai beroperasi pada 2013 ini diyakini bisa membuat 50.000 unit mobil. Selain Nano, pabrik itu juga akan membuat mobil niaga seperti Tata Ace. Tata pun tengah mencari partner di Indonesia untuk memuluskan rencana membawa Nano. Beberapa petinggi Tata Motors dikabarkan sudah bolak-balik ke Indonesia untuk mencari partner yang cocok. Namun juru bicara Tata Motors, Debasis Ray, belum bisa dimintai komentarnya soal ini. 

Kabar kehadiran Tata Motors di Indonesia sebenarnya sudah terendus sejak tahun 2009. Kabar itu makin menguat setelah analisis Frost and Sullivan menuturkan, bakal ada produsen India yang akan masuk ke Tanah Air tahun ini. Di 2009, Tata Motors sudah mengenalkan beberapa varian mobilnya ke Tanah Air, yakni lewat mobil pikap double cabin Xenon dan SUV Sumo Grande. 

Tadinya kedua mobil itu akan dikenalkan pada 2010 lalu. Analis pun memperkirakan, jika Tata mengenalkan Nano di Tanah Air, kansnya bakal cukup bagus dengan image Nano sebagai mobil termurah sejagat. 

Pasar Indonesia hampir seperti pasar India, ujar Abdul Majeed dari PricewaterhouseCoopers. Apalagi pasar otomotif di Indonesia diperkirakan masih akan berkembang lagi. Analisis JD Power menyebutkan, pasar otomotif Indonesia akan naik 11 persen tahun ini. 

Pemerintah (Kementerian Perindustian) sendiri sebenarnya sudah memiliki program merealisasi mobil ramah lingkungan. Bahkan, mobil murah dan ramah lingkungan versi Indonesia diklaim akan lebih elegan ketimbang mobil murah India, Tata Nano. 

Untuk itu, konsep pengembangan mobil ini akan diarahkan pada kendaraan yang lebih mewah daripada Tata Nano, dengan harga yang lebih tinggi dan spesifikasi yang lebih lengkap. Untuk itulah, pemerintah memperkirakan pantokan harga jual mobil murah dan ramah lingkungan akan berkisar Rp70 juta hingga Rp80 juta. 

Menurut Menteri Perindustrian MS Hidayat, setidaknya empat produsen berminat untuk memproduksi mobil ini, diantaranya Daihatsu, Nissan, Toyota, dan Suzuki. Kebutuhan atas mobil ini diperkirakan sebanyak 300.000 unit per tahun. Untuk memproduksi mobil ini dibutuhkan investasi lebih dari 100 juta dolar AS. Realisasi produksi perdana mobil ini diprediksi membutuhkan waktu 1,5 tahun lagi. 

Prosesnya masih panjang. Produsen harus bicara pemegang saham, mencari modal, menyiapkan pabrik, melakukan ujicoba. Untuk ujicoba saja butuh waktu enam bulan, ujarnya. Produsen akan disyaratkan untuk memenuhi kandungan lokal sekitar 60-80 persen. 

Oleh karena itu, sebagai multiplier effect akan terjadi pertumbuhan industri komponen otomotif, terutama powertrain. Komponen powertrain saja mencapai 30 persen. Untuk mencapai komponen lokal 80 persen, maka perlu ada pabrik powertrain di Indonesia, tuturnya. 

Sebaliknya, produsen otomotif akan diberi insentif fiskal berupa pembebasan pajak kendaraan, baik yang ditarik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Akan ada insentif pajak kendaraan dan pajak penghasilan, tapi masih dikaji bagaimana bentuknya, kata Hidayat. Sementara, empat pemain besar otomotif menyatakan minat untuk ikut terlibat dalam proyek pemerintah mengembangkan mobil murah dan ramah lingkungan. 

Keempatnya berasal dari Jepang, yakni Daihatsu, Toyota, Suzuki, dan Nissan. Setelah Daihatsu, Menteri Perindustrian MS Hidayat mengaku baru saja menerima proposal yang diajukan oleh Nissan Motor Co Ltd untuk bergabung dalam pengembangan mobil murah dan ramah lingkungan. Bahkan, salah satu produsen China juga berminat untuk ikut dan menanyakan konsep pengembangan mobil tersebut. (cr-1/oto/iz)
PASAR otomotif di Indonesia masih sangat besar dan menjadi incaran negara lain seperti Jepang, Korea, Amerika, India, dan China. Lantas kapan Indonesia mempunyai mobil nasional (mobnas) dengan harga murah? Mobil nasional merek sendiri memang masih sebatas cita-cita lama yang terpendam, bahkan masih sebatas impian. 

Sejak 1970, industri otomotif nasional belum berhasil menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan hanya terbatas sebagai perakit. Pengamat otomotif Suhari Sargo kepada Pelita di Jakarta, Minggu (20/3), mengatakan, tidak mungkin membuat industri sendiri tanpa melibatkan perusahaan pendukung. Apalagi untuk membuat mobil nasional membutuhkan investasi dengan dana yang besar. Perusahaan-perusahaan komponen nasional juga belum mandiri, masih tergantung pada Jepang. Karena sebagian komponen mobil masih diimpor dari Jepang. Karenanya, untuk membuat komponen lebih dulu, Indonesia harus menguasai teknologi dan arus suplainya seperti bahan baku dan pendukung lainnya. Semua itu, melibatkan industri lain di luar otomotif seperti alumunium dan baja. Suhari menjelaskan, komponen mobil membutuhkan bahan baku dari alumunium. Indonesia belum punya industri alumunium. 

Begitu pula dengan baja pelat untuk bodi mobil. Indonesia belum memiliki industri yang bisa membuat pelat bodi mobil. PT Krakatau Steel Tbk juga belum mampu membuat pelat khusus untuk mobil. Indonesia baru baru bisa membuat komponen mobil dari plastik dan kaca. 

Baut dan velg memang dibuat di dalam negeri, tapi bahan bakunya masih diimpor. Yang realistis saat ini adalah mengembangkan perusahaan otomotif yang sudah ada. Seperti perusahaan yang selama ini menjual mobil atau sebagai agen tunggal pemegang merek (ATPM) dari Toyota, Suzuki, Mitsubhisi, Nissan, Daihatsu, tuturnya. Artinya, kata Suhari, kalau memang dari kelima merek mobil tersebut ada keinginan untuk bersatu memproduksi mobil nasional, itu akan lebih baik. 

Pemerintah hanya mendukung dan mendorongnya dengan kebijakan insentif berupa pajak. Soalnya, biaya membuat mobil terbesar disedot oleh pajak. Ia juga mengemukakan, produsen Jepang hanya mengincar pasar sehingga berpeluang menempatkan industrinya di Indonesia, seperti yang sudah terjadi di Thailand. Jika volumenya cukup besar dan industri pendukungnya berkembang, Indonesia bukan hanya sebagai perakit, tapi secara total dapat menjadi produksi otomotif Indonesia meskipun merek masih Jepang, ungkapnya. 

Soal merek Jepang, Suhari tidak mempermasalahkannya. Hal itu menurutnya hanya soal pengenalan pasar. Di tengah perdagangan bebas, Indonesia bisa menjadi basis produksi otomotif sehingga bisa mengekspor otomotif ke negara manapun meskipun dengan merek Jepang. 

Sejak lima tahun terakhir, Indonesia sudah mengekspor sekitar 100.000 unit otomotif per tahun dengan berbagai merek seperti Toyota, Suzuki, Daihatsu, dan lainnya, ungkap Suhari. Pengalaman Mobil Timor Pengamat ekonomi David Sumual menambahkan, sebenarnya import content komponen otomotif semakin berkurang. Hanya saja dipastikan Indonesia harus mengeluarkan energi lebih banyak. 

Indonesia mempunyai pengalaman dengan mobil nasional dengan nama Timor. Memang Timor tidak sepenuhnya milik kita, melainkan kerjasama dengan KIA Korea yang kemudian dimodifikasi. Menurutnya, untuk punya merek sendiri, Indonesia harus memiliki industri spare part (suku cadang) yang tangguh seperti Toyota, Daihatsu, dan Honda di Jepang, yang memiliki puluhan ribu usaha kecil menengah (UKM) penunjang mulai dari velg hingga gear. Karena itu, industri otomotif Jepang sangat kuat. Kita harus siap membina industri seperti itu, ujarnya. Indonesia sebenarnya sudah memiliki banyak subkontrak, sebagai salah satu bentuk desentralisasi produksi. Bahkan, sekitar 60 persen komponen otomotif sudah diproduksi secara lokal. Selebihnya murni impor. 

Kalau Indonesia punya merek tertentu, tinggal dialihkan ke merek sendiri. Melihat pengalaman pada mobil nasional Timor yang menggunakan teknologi KIA sepenuhnya, dinilai David sudah tepat. Sebab, Korea pun pada mulanya membangun industri otomotif dengan menggunakan teknologi Jepang. Setelah mampu, Korea mengembangkannya sendiri. Karena itu, jika Indonesia ingin bermitra dengan PT Astra International Tbk, sebenarnya bisa membuat mobil nasional. Tinggal masalah pemasaran produknya saja. Seperti Avanza dan Xenia, sebenarnya produk yang sama. Tapi, Avanza bisa dijual lebih mahal. Itu hanya masalah persepsi bahwa Toyota lebih bagus dari Daihatsu. Padahal, produknya persis sama, jelas David. Namun, ambisi untuk membuat mobil nasional dengan harga murah masih belum jelas. 

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengungkapkan, koordinasi antara pemerintah dan ATMP masih belum dibicarakan secara matang. Pihak Gaikindo pernah dipanggil pemerintah untuk membuat skema untuk mobnas murah, tapi masih belum jelas seperti apa mobnas murah itu. Jika skema mobnas murah telah disepakati, maka kebijakan ini harus mengacu kepada kebijakan eco car (mobil ramah lingkungan) yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand, yaitu mobil murah bermesin kecil. 

Kebijakan yang tengah disusun ini misalnya Kementerian Perdagangan yang akan tetap menjaga dari serbuan produk luar negeri seperti India dan China, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan semakin mempermudah perizinan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjaga HAKI dan mengurangi pembiayaan yang tidak perlu. 

Pemerintah menargetkan produksi komersial mobil murah dan ramah lingkungan (low cost dan eco car) bisa berjalan di tahun 2011. Karenanya, pemerintah tengah mematangkan kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong industri otomotif sesuai Peraturan Presiden (Perpres) 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Pemerintah juga siap mengucurkan insentif fiskal bagi produsen mobil guna memuluskan rencana itu. Pemerintah hanya menyiapkan regulasi dan industri perlu intens untuk itu. Makanya perlu diberi insentif. Insentif yang paling mungkin diberikan pemerintah adalah pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP). 

Perlu pengusaha tangguh 

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) selaku pembina industri nasional berambisi menjadikan Indonesia sebagai basis produksi otomotif. Sesuai Kebijakan Industri Nasional sekaligus implementasi Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah, sektor industri alat transportasi menjadi salah satu prioritas. Sehingga harus memperkuat basis produksi, jangan hanya jadi pasar saja. 

Industri otomotif mampu menyerap tenaga kerja sampai 400.000 orang. Sementara itu, produksi kendaraan di tahun 2010 mencapai lebih dari 700.000 unit. Dengan demikian besarnya tingkat produksi industri otomotif, Indonesia bisa mengalahkan Thailand sebagai pasar otomotif terbesar di ASEAN. 

Dirjen Industri Ungulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT) Budi Darmadi kepada Pelita mengatakan, pihaknya akan terus mengenjot industri otomotif khususnya mobil. Hal ini untuk membantu basis produksi di dalam negeri, menciptakan lapanga kerja, meningkatkan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berbasis produksi internasional; dan itu sudah berhasil untuk beberapa merek seperti Hino dan Daihatsu yang saat ini terbesar di Indonesia. 

Semua iu bisa menciptakan lapangan kerja, meningkatkan ekonomi dengan beli bahan bakunya kan dari dalam negeri. Dari segi ekonomi mengunakan industi komponen, nah, industri komponen 1.000 bisa digerakkan menjadi industri komponen yang tumbuh, katanya. Budi mengatakan, sekarang ada beberapa merek nasional yang sudah ada di jalan, misalnya Nato, bahkan Busway yang ada di Jakarta bermerek AAI (Asian Agro Industri) yang berjenis komodo itu buatan Bogor mereknya Indonesia Asli, bahkan masih ada beberapa merek lain seperti, Inlen, Tawon, dan GEA. 

Saat ini lanjut Budi, ada beberapa industri nasional yang sudah muncul, namun itu semua perlu entrepreneur (pengusaha) yang tangguh karena, industri tersebut yang harus dibutuhkan adalah jaringan spare part, Kita juga mendukung, kita lebih banyak lagi basis produksi jadi merek banyak, merek luar dari basis kerjanya. Mereknya macam-macam nggak hanya satu merek, tapi kita mendukung kalau mau bikin mobil nasional, mendukung industrialisasi untuk pengusaha yang tangguh dalam memproduksi mobil nasional, tuturnya. 

Menurut Budi, sudah banyak yang dilakukan dalam industri otomotif ini, dari mulai biaya masuk, hingga bayar pajak. Merek lokal sudah banyak, tetapi belum ada pengusaha yang tangguh. Pemerintah, lebih konsentrasi dulu karena pajak belum final. Di Indonesia 40 merek sepeda motor, merek Indonesia sekitar 20-an namanya Daya dan Garuda. Mobil bermerek Nissan dahulu buatan Jepang dan sekarang sudah dibeli Rino dari Perancis. Volvo buatan Swedia sekarang sudah dibeli China, Industri otomotif itu sistemnya adalah global production mereknya juga harus mengglobal. 

Saat ini ekspor otomotif kita sekitar 80.000 unit lebih ke-70 negara salah satunya Malaysia dan Tailand, inikan masalah dagang, Proton dari Malaysia belum tentu bisa ekspor begitu banyak, tambahnya. Sementara Dirjen Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Gunaryo mengatakan, selain banga dengan produksi dalam negeri, pihaknya berharap mobil produksi buatan dalam negeri nantinya bisa dimanfaatkan untuk pendistribusian angkutan pedesaan di daerah. 

Hal ini tentu dapat menciptakan lapangan usaha di daerah. Selain bangga, seandainya Indonesia memiliki mobil nasional dimanfaatkan untuk angkutan angkutan perdesaan di daerah. Kemendag tinggal membantu pelaksaan pendistribusian dengan cepat. Kemendag dan Kemenperin belum ada pertemuan guna membahas industri mobil nasional ini, tetapi kalau nggak salah teman-teman Perindustrian sudah mempersiapkan. Kalau bisa produksi dari dalam dengan tenaga ahli dari kita juga, harapnya. 

Tata Nano dari India Pabrikan India, Tata Motors tengah melakukan feasibility study (studi kelayakan) untuk membuat pabrik mobil termurah sejagat Tata Nano di Jakarta. Sebelumnya, pabrikan ini akan membangun mobil Nano di Thailand, namun rencana itu ditangguhkan sementara. Tata Motors lebih memilih membuat Nano di Indonesia dibanding Thailand. Harga mobil itu sekitar Rp25 juta/unit. Pabrik yang diperkirakan akan mulai beroperasi pada 2013 ini diyakini bisa membuat 50.000 unit mobil. Selain Nano, pabrik itu juga akan membuat mobil niaga seperti Tata Ace. Tata pun tengah mencari partner di Indonesia untuk memuluskan rencana membawa Nano. Beberapa petinggi Tata Motors dikabarkan sudah bolak-balik ke Indonesia untuk mencari partner yang cocok. Namun juru bicara Tata Motors, Debasis Ray, belum bisa dimintai komentarnya soal ini. 

Kabar kehadiran Tata Motors di Indonesia sebenarnya sudah terendus sejak tahun 2009. Kabar itu makin menguat setelah analisis Frost and Sullivan menuturkan, bakal ada produsen India yang akan masuk ke Tanah Air tahun ini. Di 2009, Tata Motors sudah mengenalkan beberapa varian mobilnya ke Tanah Air, yakni lewat mobil pikap double cabin Xenon dan SUV Sumo Grande. 

Tadinya kedua mobil itu akan dikenalkan pada 2010 lalu. Analis pun memperkirakan, jika Tata mengenalkan Nano di Tanah Air, kansnya bakal cukup bagus dengan image Nano sebagai mobil termurah sejagat. 

Pasar Indonesia hampir seperti pasar India, ujar Abdul Majeed dari PricewaterhouseCoopers. Apalagi pasar otomotif di Indonesia diperkirakan masih akan berkembang lagi. Analisis JD Power menyebutkan, pasar otomotif Indonesia akan naik 11 persen tahun ini. 

Pemerintah (Kementerian Perindustian) sendiri sebenarnya sudah memiliki program merealisasi mobil ramah lingkungan. Bahkan, mobil murah dan ramah lingkungan versi Indonesia diklaim akan lebih elegan ketimbang mobil murah India, Tata Nano. 

Untuk itu, konsep pengembangan mobil ini akan diarahkan pada kendaraan yang lebih mewah daripada Tata Nano, dengan harga yang lebih tinggi dan spesifikasi yang lebih lengkap. Untuk itulah, pemerintah memperkirakan pantokan harga jual mobil murah dan ramah lingkungan akan berkisar Rp70 juta hingga Rp80 juta. 

Menurut Menteri Perindustrian MS Hidayat, setidaknya empat produsen berminat untuk memproduksi mobil ini, diantaranya Daihatsu, Nissan, Toyota, dan Suzuki. Kebutuhan atas mobil ini diperkirakan sebanyak 300.000 unit per tahun. Untuk memproduksi mobil ini dibutuhkan investasi lebih dari 100 juta dolar AS. Realisasi produksi perdana mobil ini diprediksi membutuhkan waktu 1,5 tahun lagi. 

Prosesnya masih panjang. Produsen harus bicara pemegang saham, mencari modal, menyiapkan pabrik, melakukan ujicoba. Untuk ujicoba saja butuh waktu enam bulan, ujarnya. Produsen akan disyaratkan untuk memenuhi kandungan lokal sekitar 60-80 persen. 

Oleh karena itu, sebagai multiplier effect akan terjadi pertumbuhan industri komponen otomotif, terutama powertrain. Komponen powertrain saja mencapai 30 persen. Untuk mencapai komponen lokal 80 persen, maka perlu ada pabrik powertrain di Indonesia, tuturnya. 

Sebaliknya, produsen otomotif akan diberi insentif fiskal berupa pembebasan pajak kendaraan, baik yang ditarik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Akan ada insentif pajak kendaraan dan pajak penghasilan, tapi masih dikaji bagaimana bentuknya, kata Hidayat. Sementara, empat pemain besar otomotif menyatakan minat untuk ikut terlibat dalam proyek pemerintah mengembangkan mobil murah dan ramah lingkungan. 

Keempatnya berasal dari Jepang, yakni Daihatsu, Toyota, Suzuki, dan Nissan. Setelah Daihatsu, Menteri Perindustrian MS Hidayat mengaku baru saja menerima proposal yang diajukan oleh Nissan Motor Co Ltd untuk bergabung dalam pengembangan mobil murah dan ramah lingkungan. Bahkan, salah satu produsen China juga berminat untuk ikut dan menanyakan konsep pengembangan mobil tersebut. (cr-1/oto/iz)
thumbnail
Judul: Mobil Nasional Berharga Murah Masih Sebatas Impian
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh

Artikel Terkait Otomotif :

0 comments:

Posting Komentar

 
Copyright © 2013. About - Sitemap - Contact - Privacy
Template Seo Elite oleh Bamz